Bisnis.com, JAKARTA – Perdagangan komoditas jagung di bursa berjangka global bergerak menguat di tengah proyeksi menurunnya produksi dan dampak melemahnya greenback.
Dilansir dari Bloomberg, setelah tertinggal dari komoditas logam dan energi pada tahun lalu, harga jagung mendapat dorongan yang lebih kuat pada Rabu (24/1/2018), karena futures Maret 2018 menyentuh level tertinggi dalam 7 minggu terakhir.
Perdagangan jagung kontrak teraktif Maret 2018 kala itu di Chicago Board of Trade (CBOT) menguat 0,05 poin atau 1,49% menjadi US$3,57 sen per bushel. Secara year to date (ytd), harga mengalami pertumbuhan 1,64%.
Dilansir dari Bloomberg, persediaan jagung global sebelum panen pada tahun ini di Amerika Utara diproyeksikan turun 9,7%, membukukan penurunan tahunan pertama sejak 2011.
Pada saat yang sama, cuaca kering belum lama ini di Argentina serta hujan yang berlebihan di Brasil mengancam hasil panen dan menambah prospek penyusutan pasokan. Di AS, kekeringan tambah luas dan berpengaruh ke ladang tanaman jagung.
Adapun, penguatan harga kontrak jagung juga dipengaruhi produksi jagung global yang diprediksi berkurang seiring dengan penurunan produksi yang dilakukan oleh petani di China. Pasalnya, pemerintah Negeri Panda masih menerapkan kebijakan pembatasan pasokan.
“Kami telah memperhitungkan sejumlah berita negatif. Sekarang ada tanda–tanda panen di tahun ini semakin menyusut,” kata Don Roose, Presiden Comoodities Inc di West Des Moines, Lowa.
Kondisi terganggunya produksi tersebut disinyalir mampu mendorong penguatan pada harga jagung, sehingga bergerak pada tren positif.
Sementara itu, melemahnya greenback membantu membalikkan tren akhir–akhir ini. Menurut data, sejak Juni 2011, dolar naik lebih dari 20% sedangkan jagung turun lebih dari 50%. Ketika dolar AS melemah, maka jagung akan berbalik mendapatkan keuntungan.