Bisnis.com, JAKARTA--Harga kakao yang berada di level rendah diprediksi memicu permintaan terhadap biji cokelat.
Pada perdagangan Jumat (3/3/2017) pukul 19:43 WIB, harga kakao di ICE Futures New York kontrak Mei 2017 naik 22 poin atau 1,14% menjadi US$1.950 per ton. Angka ini menunjukkan harga terkoreksi 7,62% sepanjang tahun berjalan.
Tahun lalu, harga kakao merosot 33,26%. Tren menurun dimulai setelah 18 Agustus 2018 ketika harga mencapai US$3.070 per ton.
Nick Gentile, managing partner NickJen Capital Management & Consulting di New York, mengatakan penurunan harga kakao yang mencapai area terendah sejak 2008 merupakan volatilitas tertinggi sejak Mei 2012. Namun demikian, pemerosotan harga dapat membantu permintaan fisik terhadap biji cokelat.
"Pelemahan harga memicu permintaan. Saat ini pasar masih mencoba membentuk titik terendah baru," ujarnya seperti dikutip dari Bloomberg, Jumat (3/3/2017).
Sementara itu, International Cocoa Organization (ICCO) alam laporannya menyebutkan, pada musim 2016-2017 yang dimulai Oktober kemarin, volume produksi kakao global akan melebihi permintaan atau surplus sebesar 264.000 ton. Ini menjadi surplus terbesar dalam enam tahun terakhir.
Sebelumnya pada musim 2015-2016, pasar global mengalami defisit sejumlah 196.000 ton. Sebagai informasi, perhitungan musim kakao dimulai bulan Oktober dan berakhir pada September.
Total produksi pada musim ini meningkat hampir 15% year on year/yoy menjadi 4,55 juta ton dari sebelumnya 3,96 juta ton. Sementara volume pengolahan (grinding) - yang menjadi ukuran tingkat permintaan - hanya tumbuh 2,9% yoy menuju 4,24 juta ton dari sebelumnya 4,12 juta ton.
Penambahan suplai terutama disumbang oleh Pantai Gading sebagai produsen terbesar di dunia. Tingkat produksi negara itu pada musim 2016-2017 diperkirakan melonjak 20% yoy menjadi 1,9 juta ton.
Dalam musim yang sama, produksi Ghana mencapai 850.000 ton. Suplai dari Indonesia juga bertambah sedikit menjadi 330.000 ton, dan Ekuador sebesar 270.000 ton. Adapun pasokan dari Nigeria meningkat 15% yoy menjadi 230.000 ton dan Kamerun meningkat menuju 250.000 ton.
Volume pengolahan diperkirakan meningkat di negara-negara produsen, tetapi stagnan di Eropa dan Amerika Serikat. ICCO menambahkan, turunnya harga kakao akan menguntungkan industri pengolahan pada musim ini dibandingkan dua periode sebelumnya.