Bisnis.com, BANDUNG-Pemerintah didesak memperbanyak penyebaran bibit kakao bersertifikasi di Jawa Barat guna mendongkrak kualitas produksi komoditas itu.
Ketua Gabungan Asosiasi Petani Perkebunan Indonesia (Gapperindo) Jabar Mulyadi Sukandar mengatakan kendati Jabar bukan sentra basis kakao seperti di Sulawesi, tapi setidaknya bisa berkontribusi untuk memasok kakao di dalam negeri bahkan ekspor.
"Memang di Jabar kakao hanya suplemen, karena luasnya hanya sekitar 15.000 hektare (ha)," ujarnya kepada Bisnis, Rabu (22/6/2016).
Dia menjelaskan kualitas produksi kakao di Jabar saat ini semakin memburuk akibat bibit yang ditanam pada 1980-an asal usulnya tidak jelas. Bibit yang ditanam tersebut tidak tahan terhadap penyakit buah kakao (PBK).
Untuk meningkatkan kembali kualitas produksi maka pemerintah harus menyebarkan bibit yang sudah disertifikasi oleh Dinas Perkebunan atas rekomendasi Puslitkoka Jember.
"Jangan hanya sekadar bibit yang disebar, tapi harus bersertifikasi agar terbebas dari penyakit," katanya.
Di samping itu, Mulyadi mengeluhkan petani yang sebagian besar masih belum melakukan fermentasi kakao.
Dia menukaskan petani masih enggan melakukan fermentasi akibat selisih harga yang tipis dengan kakao asalan.
"Petani lebih senang menjual produk yang tidak fermentasi karena selisihnya relatif rendah. Petani itu inginya gampang saja," katanya.
Produk kakao Indonesia yang tidak difermentasi selama ini hanya menjadi campuran dari negara lain.
Bahkan, kakao dari Indonesia tidak memiliki harga premium dan harus kena potongan US$100/ton.
"Jelas ini merugikan, sebab harga premium hanya berlaku bagi produk dari Pantai Gading," ujarnya.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan nilai tambah ekspor maka pemerintah perlu memacu pembinaan fermentasi kakao terhadap petani.
Para petani kakao harus dibina melalui kegiatan pelatihan dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan keterampilan fermentasi kakao serta diberikan peralatan unit pengolah hasil kakao.
Dengan demikian, maka petani diharapkan mampu melakukan fermentasi kakao terlebih dulu sebelum dijual.
"Alat pengolah kakao itu pasti dilengkapi dengan peralatan fermentasi."
Adapun untuk sertifikasi perkebunan kakao, Mulyadi menjelaskan masih sulit dilakukan karena kondisi eksisting lahan yang masih belum memenuhi persyaratan.
"Kalau mau disertifikasi kebunnya minimal bibit yang ditanam harus unggul dan tersertifikasi," paparnya.
Sementara itu, Koordinator National Reference Group (NRG) on Kakao Jabar, Iyus Supriyatna mengatakan sertifikasi kakao rakyat di Jabar belum bisa dilaksanakan karena kondisi perkebunan belum memenuhi persyaratan.
"Jadi kebunnya perlu direhabilitasi dulu dan sebagian besar harus diremajakan," katanya.
Untuk mempercepat rehabilitasi dan peremajaan maka dapat dilakukan dengan sistem sambung samping yakni menggunakan entres batang atas berasal dari jenis kakao unggul, yang direkomendasi oleh Puslitkoka Jember.
"Setelah kebun kakao-nya bagus, dengan populasi minimal 1.600 pohon per hektare (ha) dengan produksi minimal 1,5 ton/ha/tahun cocoa bean barulah bisa disertifikasi," ujarnya.
Dia menyebutkan, produksi rata-rata kakao rakyat Jabar saat ini sangat memprihatinkan yakni di bawah 500 kg cocoa bean/ha/tahun.
"Kalau kebunnya sudah bagus dan produksinya sudah optimal, barulah kita berani bersaing di pasar internasional," katanya.
Terpisah, Balai Pengawasan dan Pengujian Mutu Benih (BP2MB) Dinas Perkebunan (Disbun) Jawa Barat mengklaim pemberian bibit kakao terhadap petani cukup sulit. Sebab, margin keuntungan yang didapat relatif rendah serta waktu produksi cukup lama.
Kepala BP2MB Jabar Hermin Karlina mengatakan saat ini produksi kakao di Jabar kurang diminati petani. Sehingga pada tahun ini pihaknya tidak memiliki anggaran untuk menyebarkan bibit kakao.
Kendati demikian, pihaknya juga bekerja sama dengan Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar (Balittri) Bogor yang saat ini menyediakan bibit unggul kakao untuk disebar terhadap petani.