Bisnis.com, JAKARTA—Emiten kimia PT Chandra Asri Petrochemical Tbk. tahun ini mengincar pendapatan bersih tak jauh dari capaian pada 2014 yaitu sekitar US$2 miliar.
Pencapaian pendapatan pada 2014 menjadi patokan karena pada tahun lalu emiten berkode TPIA itu sempat mengalami turn around maintenance (TAM) atau pemeliharaan mesin pabrik sejak September hingga awal Desember. Hal itu membuat TPIA setop produksi untuk sementara, sehingga kinerja perusahaan berada di bawah capaian pada 2014.
Merujuk laporan keuangan TPIA, pada 2014 pendapatan bersih perseroan mencapai US$2,46 miliar. Adapun pendapatan bersih TPIA pada periode Januari-September 2015 mencapai US$1,14 miliar.
Menurut Suryandi, Direktur HRD dan Sekretaris Perusahaan TPIA, pendapatan bersih sepanjang 2015 masih diaudit. Akan tetapi, raihan hingga September tersebut mencerminkan capaian sampai akhir 2015.
Dia mengatakan, pihaknya optimistis membukukan penjualan bersih menyamai raihan pada 2014 seiring dengan ditambahnya kapasitas produksi saat TAM pada akhir tahun lalu.
“Kapasitas produksi kami bertambah hingga 43% dan kami optimistis penjualan produk petrokimia kami bisa naik sekitar 40% tahun ini karena kan pemakaian optimal bertahap. Untuk penjualan kami bisa samai 2014,” katanya, Senin (25/1/2016).
Jika dirinci, ekspansi kapasitas produksi TPIA meliputi ethylene dari 600.000 ton per tahun menjadi 860.000 ton. Propylene dari 320.000 ton per tahun menjadi 470.000 ton, py-gas dari 280.000 ton per tahun menjadi 400.000 ton dan mixed C4 dari 220.000 ton setahun menjadi 315.000 ton.
Dengan penambahan kapasitas produksi tersebut, kini TPIA mampu memasok sekitar 2,045 juta ton kebutuhan produk petrokimia di Indonesia. Adapun kebutuhan petrokimia nasional selama setahun mencapai 2,5 juta ton.
Optimisme Suryandi mencatatkan pertumbuhan tak terlepas pula dari anjloknya harga minyak dunia. Seperti diketahui, row material petrokimia datang dari limbah minyak bumi. “Itu memperbesar margin kami,” ujarnya.
Akan tetapi dia enggan menyebut persentase penaikan margin yang didapat karena turunnya harga minyak dunia tersebut. Dia pun mengatakan, meski margin dan pendapatan diproyeksikan bertambah, besarannya tak akan berbanding lurus dengan penaikan laba bersih.
Hal ini dikarenakan nilai tukar rupiah tahun lalu terdepresiasi cukup dalam terhadap dolar Amerika Serikat. Hal itu berkaitan dengan bahan dasar petrokimia yaitu naphtha yang 100% harus diimpor. Pihaknya mengimpor bahan dasar tersebut dari kawasan Timur Tengah dan Singapura.
“Secara kuantitas produksi kami memang bisa tumbuh 40% namun untuk pendapatan dan laba tidak akan sama karena terkait penurunan harga minyak dan nilai tukar rupiah,” ucapnya.
Pada 2014 laba bersih tahun berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk yang dicatatkan TPIA mencapai US$18 juta. Adapun laba bersih tahun berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk hingga September 2015 mencapai US$31 juta.
Ditanyai terkait belanja modal tahun ini, Suryandi menyebut hanya menganggarkan sekitar US$20 juta yang berasal dari kas perusahaan untuk keperluan regular maintenance. Pada tahun lalu belanja modal perseroan mencapai US$380 juta yang digunakan untuk ekspansi kapasitas produksi.
Dia menambahkan, untuk mengurangi ketergantungan akan impor naphtha pihaknya sedang menjalin proses kerjasama dengan British Petroleum Singapura untuk membangun kilang minyak. Kelak, jika kerjasama itu terealisasi akan menutupi hingga 50% kebutuhan naphtha perseroan.