Bisnis.com, JAKARTA—Emiten yang memproduksi keramik berharap penurunan harga gas industri seperti yang dijanjikan pemerintah dalam paket kebijakan ekonomi yang ketiga akan mendongkrak kinerja tahun ini.
Pada tahun lalu, kinerja emiten keramik terganggu selain karena pelambatan ekonomi juga diperparah harga gas industri yang dinilai terlalu tinggi.
PT Mulia Industrindo Tbk. misalnya, merujuk laporan keuangan emiten yang memproduksi keramik dan kaca tersebut, pada Januari-September 2015 mengalami kerugian Rp247,7 miliar.
Pada periode tersebut raihan penjualan perusahaan berkode MLIA itu mencapai Rp4,2 triliun.
Di sisi lain, pada Januari-September 2015 beban penjualan perusahaan mencapai Rp4,5 triliun.
Dari jumlah itu, biaya pabrikasi untuk bahan bakar mencapai Rp1 triliun naik dari waktu yang sama tahun sebelumnya yang hanya Rp950 miliar.
Menurut Direktur PT Mulia Industrindo Tbk. Hendra Herjadi Widjonarko, untuk memproduksi keramik pabrikan tak memiliki pilihan dalam mengolah bahan baku selain menggunakan gas.
Dalam satu bulan untuk memproduksi keramik dan kaca pihaknya memerlukan pasokan gas hingga 27 juta m3.
Menurutnya, harapan terbaik emiten keramik untuk menggenjot kinerja penjualan dan laba di tahun ini adalah turunnya harga gas industri dan stabilnya nilai tukar rupiah.
“Beli gas pake dolar. Jika harga gas turun dan dolar Amerika Serikat stabil kami memiliki margin yang lebih,” katanya kepada Bisnis belum lama ini.
Tahun ini perusahaannya menargetkan untuk memproduksi sekitar 93 juta m2. Jumlah itu masih di bawah kapasitas total produksi yang bisa mencapai 95 juta m2 dalam satu tahun.
Sedangkan pada 2015, karena permintaan pasar yang lesu, Hendra mengatakan perusahaannya memproduksi keramik dan kaca hanya 85 juta meter2.
Senada dengan Hendra, Corporate Secretary PT Keramika Indonesia Assosiasi Tbk. Verawaty Trisno menyebut emiten keramik sangat bergantung pada harga gas industri. Penurunan gas bisa mendongkrak kinerja tahun ini.
Menilik laporan keuangan emiten berkode KIAS tersebut, pada periode Januari-September 2015 pendapatan perusahaan mencapai Rp609,3 miliar. Jumlah itu menurun dari periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai Rp656,5 miliar.
Pada sembilan bulan pertama 2014 KIAS masih mampu membukukan laba bersih sebesar Rp74,8 miliar. Adapun pada Januari-September 2015 perusahaan itu merugi Rp34,3 miliar.
Meski tidak dicantumkan biaya bahan bakar secara rinci dalam laporan keuangannya, pada Januari-September 2015 biaya pabrikasi KIAS mencapai Rp342,4 miliar. Jumlah itu melonjak dari periode yang sama tahun sebelumnya yang hanya Rp330,4 miliar.
“Pengeluaran untuk gas itu bisa menjadi yang terbesar untuk biaya produksi. Kalau harga gas bisa turun kinerja bisa naik,” katanya kepada Bisnis dalam kesempatan berbeda.
Dari segi produksi, KIAS dalam satu tahun dapat membuat hingga 22 juta m2 sampai 24 juta m2 keramik. Pada 2014 dia mengklaim seluruh kapasitas produksi terpakai.
Tapi tahun lalu saat ekonomi melambat diperparah harga gas industri yang tinggi produksi berkurang hingga 10% karena pasokan harus ditekan menyesuaikan permintaan pasar yang lesu.
Tahun ini, dia berharap total kapasitas produksi bisa terpakai optimal. Terlebih kondisi ekonomi 2016 diharapkan membaik dari tahun sebelumnya.
“Jika harga gas turun margin bisa lebih tinggi,” ucapnya.
Sebelumnya, pemerintah berencana menurunkan gas industri Februari mendatang.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan harga gas untuk pabrik dari lapangan gas ditetapkan sesuai dengan kemampuan daya beli industri pupuk yakni sebesar US$7 per million metric british thermal unit (MMbtu).
Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Elisa Sinaga mengatakan penggunaan gas membebani sekitar 35% ongkos produksi.
Jika harga gas untuk keramik turun menjadi US$7 per MMbtu dari saat ini US$9,1 per MMbtu, maka biaya produksi turun 7%-8%.
Menurutnya, kelesuan pasar domestik sepanjang 2015 berdampak pada utilitas industri keramik nasional yang turun hingga 30%.
Adapun kapasitas produksi pada tahun lalu diperkirakan hanya mencapai 370 juta m2, anjlok dibandingkan 2014 yang berkisar 490 juta m2, sementara kapasitas terpasang industri keramik nasional saat ini mencapai 560 juta m2.