Bisnis.com, JAKARTA - Terbukanya pasar China memberi harapan baru untuk menggeliatkan kembali kinerja ekspor sarang burung walet Indonesia yang terus menurun. Sayangnya, memasuki pintu negeri Tirai Bambu tersebut tidak semudah membalik tangan.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, nilai ekspor sarang burung walet Indonesia pada 2014 mencapai US$128 juta, turun 16,33% dibanding ekspornya pada 2013. Kondisi tersebut terus memburuk dengan kinerja ekspor periode Januari – Juli 2015 yang mencapai US$52,1 juta, turun 41% dibanding periode yang sama pada tahun lalu.
“Trennya menurun terus, selama lima tahun terakhir minus 5%,” kata Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan Nus Nuzulia kepada Bisnis, Selasa (13/10).
Penurunan ekspor sarang burung walet pun sebenarnya terjadi di level global, dengan tren penurunan hingga 11,9% selama periode 2010 – 2014. Impor sarang burung walet dunia pada 2014 lalu mencapai US$492 juta, dengan lima importir terbesar yaitu Hingkong, Singapura, Thailand, Amerika Serikat, dan China.
Di lihat dari sisi negara tujuan ekspornya, dari total 15 negara tujuan ekspor sarang burung walet Indonesia, 10 di antaranya mengalami penurunan impor dari Indonesia. Beberapa negara yang masih mengalami peningkatan a.l. Taiwan, Thailand, dan China.
Tetapi dari kontribusi ekspornya, hanya China yang masuk lima besar negara tujuan ekspor dengan nilai ekspor tertinggi. Pengapalan sarang burung walet Indonesia pada Januari – Juli 2015 didominasi oleh Honkong (pangsa pasar 42,5%), disusul Singapura (25%), China (12%), dan Amerika Serikat (8,23%).
Menurut Nus, peluang yang kini bisa dimanfaatkan adalah China yang kembali membuka pasarnya pada tahun ini. Saat ini (Januari – Juli 2015), ekspor sarang burung walet Indonesia telah mencapai US$6,7 juta, naik signifikan karena pada tahun lalu tidak ada ekspor ke China.
Kepala Balai Besar Karantina Pertanian Surabaya Kementerian Pertanian Eliza Suryati Rusli menilai saat ini sarang walet merupakan komoditas yang sangat populer yang digunakan sebagai bahan baku makanan atau minuman. Di China, sarang walet dikonsumsi lebih tinggi pada hari-hari tertentu seperti pada Imlek atau menjelang tahun baru Masehi.
Menembus pasar China secara langsung berarti bisa memangkas biaya rantai distribusi yang selama ini terbuang di negara penghubung seperti Singapura, Hongkong, serta Taiwan. Selain itu, penjualan langsung akan menghasilkan margin lebih tinggi bagi para produsen.
Namun, China mengenakan persyaratan yang sangat ketat termasuk sistem ketelusuran (traceability) dan pemenuhan hygiene dan sanitasi serta bebas dari Avian influenza dan penyakit-penyakit unggas lainnya (sanitary and phytosanitary measures).
Kepala Bidang Kepatuhan dan Pengawasan Karantina Pertanian Retno Oktaviana menyebutkan persyaratan yang diperlukan untuk bisa melakukan ekspor ke China yaitu pemeriksaan kandungan nitrit tidak lebih dari 30 ppm, pemanasan, dan registrasi dari rumah walet dan rumah produksinya sehingga memudahkan proses penelusuran ketika terjadi masalah di China.
“Balai Besar Karantina Pertanian sudah membuat kebijakan melalui sejumlah regulasi untuk memfasilitasi agar persyaratan itu bisa dipenuhi oleh karantina dan oleh eksportir,” kata Retno.
Saat ini, persyaratan-persyaratan ketat tersebut baru bisa dipenuhi enam perusahaan yang telah teregistrasi di Indonesia. Retno menyebutkan, pihaknya akan mempercepat agar perusahaan-perusahaan lainnya mampu memperbaiki standar mereka dan mengikuti langkah enam perusahaan tersebut.
Perwakilan Asosiasi Peternak dan Pedagang Sarang Walet Indonesia (APPWSI) Agra Soeharsa mengatakan, perjuangan menembus pasar China terbilang cukup panjang. Terbukanya pasar China pada 14 Januari 2015 tersebut merupakan momen yang ditunggu sejak lima tahun lalu.
“Perjuangannya sangat panjang, hingga sudah ganti beberapa Menteri,” tutur Agra.
Setelah itu pun prosesnya masih terbilang rumit. Dari pengajuan delapan eksportir, pada awalnya hanya tiga perusahaan yang diterima sebagai eksportir sarang burung walet. Dua bulan setelahnya, baru tiga perusahaan lainnya bisa ikut mengekspor komoditas yang harganya rata-rata mencapai Rp15 juta/kg tersebut.