Bisnis.com, JAKARTA -- Meskipun nyaris seluruh mata uang Asia rontok terhadap dolar Amerika Serikat ke level terendah dalam 18 tahun terakhir, depresiasi dipandang tidak seburuk 1997.
DBS Bank, bank beraset terbesar di Asia Tenggara, melihat empat ekonomi Asia yang terjangkit krisis parah 18 tahun lalu, yakni Thailand, Indonesia, Malaysia, dan Korea, kehilangan nilai mata uangnya lebih dari 50% melawan dolar AS pada 1997.
Sementara saat ini, kurs mata uang keempatnya hanya terdepresiasi 15% tahun lalu.
"Tingkat itu juga tidak sebanding dengan penguatan greenback 20% terhadap euro dan yen pada saat yang sama," kata tim riset DBS Bank yang dipimpin David Carbon dalam laporan tertulisnya, Senin (24/8/2015).
Kendati demikian, DBS membenarkan terjadi arus modal keluar yang signifikan. Namun, mata uang Asia relatif sejauh ini belum jatuh separah 1998. Alasan utamanya karena Asia, kecuali India dan Indonesia, mengalami surplus transaksi berjalan ketimbang defisit seperti terjadi pada 1988-1997.
"Surplus itu mengompensasi capital outflow. Cadangan devisa memang menurun, tetapi tak sebesar capital outflow," sambungnya.
Menurut DBS, krisis 1997 memang krisis Asia. Pergerakan mata uang kala itu adalah pergerakan Asia.
"Pergerakan mata uang hari ini bukanlah pergerakan Asia. Itu pergerakan dolar."