Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

STRATEGI KAEF: Kimia Farma Siasati Potensi Tergerusnya Margin Laba

Menjadi perusahaan pelat merah di sektor farmasi memang tidak mudah. Selain dituntut mencari untung, perseroan juga harus mendukung program sistem jaminan kesehatan nasional dengan menjual obat generik.
KAEF siasati potensi tergerusnya margin laba./
KAEF siasati potensi tergerusnya margin laba./

Bisnis.com, JAKARTA- Menjadi perusahaan pelat merah di sektor farmasi memang tidak mudah. Selain dituntut mencari untung, perseroan juga harus mendukung program sistem jaminan kesehatan nasional dengan menjual obat generik.

Rusdi Rosman, Direktur Utama PT Kimia Farma Tbk., memahami betul tuntutan terhadap perusahaan yang dipimpinnya. Apalagi saat ini boleh dibilang Kimia Farma merupakan badan usaha milik negara (BUMN) farmasi terbesar di Indonesia. Berpartisipasi dalam tender obat generik yang rutin digelar pemerintah sudah menjadi kewajiban bagi emiten berkode KAEF ini.

Padahal, secara hitungan bisnis margin laba obat generik jauh lebih kecil dibandingkan dengan obat resep. Saat ini, margin obat generik berkisar antara 5%-10% saja. Padahal idealnya, margin produk farmasi minimal sekitar 20%.

Rusdi menuturkan sebagai perusahaan negara Kimia Farma memang tidak bisa melepaskan begitu saja bisnis obat generik meskipun margin yang didapatkan lebih kecil. Apalagi volume permintaan obat generik biasanya sangat besar. Dia berharap laba kecil yang dikumpulkan perseroan bisa tertutupi oleh jumlah permintaan yang sangat besar.

Khusus untuk tahun ini Kimia Farma mengincar Rp500 miliar dari pelaksanaan tender obat generik. Rusdi mengatakan sampai saat ini pihaknya telah mengantongi tender penyediaan obat generik hingga Rp400 miliar.

Jika dibandingkan dengan proyeksi pendapatan KAEF tahun ini nilai tender obat generik memang tidak terlalu besar. Porsinya sekitar 9,5% dari target pendapatan Kimia Farma yang mencapai Rp5,2 triliun.

Kimia Farma sebenarnya telah bersiap menghadapi era banjir permintaan obat generik ini. Hal tersebut terlihat dari kapasitas produksi perseroan yang ditambah hingga 3,5 miliar butir per tahun dengan membangun pabrik baru di Banjaran, Bandung. Sebelumnya KAEF telah memiliki tiga pabrik di Jakarta, Bandung, dan Medan yang berkapasitas 3,5 miliar butir per tahun. Dengan demikian, akhir tahun ini perseroan bakal memiliki fasilitas berkapasitas 7,5 miliar butir per tahun.

Potensi penurunan margin laba akibat obat generik ini juga diperparah dengan kondisi mata uang rupiah yang kian melemah terhadap dolar Amerika Serikat. Pada Senin (15/6), nilai tukar rupiah sudah diperdagangkan di level Rp13.324 per dolar AS. Hal ini jelas menjadi alarm merah bagi seluruh perusahaan farmasi, termasuk Kimia Farma.

Masalah depresiasi rupiah ini sebenarnya memang bukan barang baru. Sejak akhir tahun lalu, perseroan sudah kelimpungan dihantam fenomena rupiah yang membuat harga bahan baku melonjak tajam.

Vanessa Tanuwijaya, Analis PT Mandiri Sekuritas, menuturkan kombinasi antara pelemahan rupiah dan margin tipis obat generik merupakan tantangan utama emiten farmasi di tahun ini. Dia menilai satu-satunya produk yang bisa diandalkan adalah penjualan obat resep dan over the counter (OTC) atau produk kesehatan lainnya.

Bagaimana perseroan menanggapi potensi tergerusnya margin laba ini? Rusdi menuturkan salah satu strategi utama yang akan ditempuh perseroan adalah dengan meningkatkan porsi ekspor agar terjadi natural hedging. Direktur Keuangan dan Sekretaris Perusahaan Kimia Farma Farida Astuti mengatakan sepanjang tahun lalu perseroan telah menjajaki pasar baru di sejumlah negara seperti Myanmar, Kanada, dan Vietnam.

“Tahun ini kami harapkan nilai ekspor bisa sampai Rp105 miliar,” tuturnya belum lama ini.

Rusdi berharap peningkatan nilai ekspor ini akan membantu perseroan meredam dampak pelemahan rupiah. Selain itu, KAEF juga mengerek harga jual sekitar 40 produknya dengan rata-rata kenaikan 10%. Starategi terbukti menyelamatkan laba bersih perseroan pada kuartal I/2015.

Selain merancang strategi jangka pendek, Kimia Farma juga memiliki rencana mengurangi ketergantungan impor bahan aku dalam jangka panjang. Hal tersebut dilakukan dengan pembangunan pabrik bahan baku farmasi pertama di Indonesia. Rusdi menuturkan, jika fasilitas tersebut terealisasi perseroan optimistis bisa mengurangi dampak depresiasi rupiah.

Kendati demikian, kalangan industri farmasi tampaknya masih harus bersabar menunggu pabrik tersebut terealisasi. Pasalnya, KAEF bersama dengan konsultan asal Korea Selatan masih melakukan studi kelayakan pendirian fasilitas tersebut.

Menurut Rusdi, perhitungan bisnis untuk membangun pabrik tersebut memang tidak mudah. Pasalnya, selama ini industri farmasi di Indonesia lebih banyak mengandalkan impor bahan baku dari China karena harganya lebih murah.

“Kami ingin produk bahan baku dari pabrik ini bisa lebih murah dibandingkan dengan impor,” katanya kepada Bisnis, beberapa waktu lalu.

Jika dalam perhitungan bisnis harga jual bahan baku farmasi ini bisa lebih murah, perseroan akan melanjutkan proyek tersebut. Sebaliknya, jika harga jualnya lebih mahal perseroan akan membatalkan rencana pembangunan pabrik ini.

Hambatan lain pembangunan pabrik ini adalah suplai bahan kimia dasar. Menurutnya, sektor industri ini di Indonesia belum berkembang pesat. Inilah yang akan membuat perseroan gagal memproduksi bahan aku farmasi yang lebih murah ketimbang produk asal China.

Rusdi menjelaskan perseroan sebenarnya telah menganggarkan investasi tahap awal Rp100 miliar untuk pabrik tersebut. Dia memprediksi bisa menyelesaikan pembangunannya dalam dua tahun. Adapun sejumlah lokasi seperti Cikarang, Jawa Barat dan Jombang, Jawa Timur juga telah dipersiapkan.

Analis PT Bahana Securities Michael W. Setjoadi mengatakan margin kotor Kimia Farma tahun ini akan terbantu oleh penurunan harga minyak dunia yang mempengaruhi ongkos pengemasan.

“Kami prediksi gross margin KAEF tahun ini naik jadi 32,1% dari sebelumnya30,6% pada 2014,” ujarnya dalam risetnya belum lama ini.

Michael menuturkan pencapaian Kimia Farma pada kuartal I/2015 yang cukup bagus menjadi modal penting perseroan mengarungi 2015. Kendati memiliki banyak tantangan, saham emiten pelat merah ini dinilai masih potensial bagi investor. Dia memberikan target price di Rp1.750 per lembar saham.

Menilik kinerja saham KAEF sepanjang bulan ini nampaknya memang mengecewakan. Saham perseroan yang sempat menyentuh di kisaran Rp1.400 pada Maret 2015, kini tergerus hingga di bawah Rp1.000. Pada perdagangan Senin (15/6), saham KAEF bahkan diperdagangan di level Rp965. Ini merupakan level terendah setidaknya sejak Juli 2014.

Penurunan saham KAEF ini memang imbas dari sentimen negatif yang beberapa waktu belakangan ini menghantam pasar saham Indonesia. Dengan tantangan yang ada, mampukah KAEF mempertahankan performanya?

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper