Bisnis.com, JAKARTA— Proyeksi harga minyak sangat jelas yakni masih akan terkoreksi. Berdasarkan survey Bloomberg Intelligence terhadap 86 spesialis investasi, rata-rata harga minyak akan bergerak pada kisaran US$35-US$80 sepanjang tahun ini.
Minyak telah mencetak kenaikan dua mingguan terbesar dalam 17 tahun, tetapi masih 50% lebih murah dari harga pada Juni.
Pergerakan harga masih sangat berfluktuasi, dari kisaran US$30 per barel seperti yang diprediksi oleh Presiden Goldman Sachs hingga paling tinggi adalah US$200 per barel seperti yang diperkirakan Kepal OPEC.
Lalu apa yang akan terjadi selanjutnya? Berikut adalah contoh prediksi dalam dua minggu terakhir, seperti yang dikutip Bloomberg:
- “Harga minyak dapat turun hingga kisaran US$30 per barel karena surplus pasokan tidak akan habis dalam semalam,” ujar analis Barclays Miswin Mahesh.
- “Jika Anda tidak berinvestasi pada minyak dan gas, Anda akan melihat kenaikan lebih dari US$200,” ujar Sekretaris Jenderal Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) Abdell El-Badri, tanpa memberikan rentang waktu.
- “Saya rasa kita masih belum melihat harga terendahnya,” ujar analis komoditas UBS Giovanni Staunovo.
- “Fundamental pasokan dan permintaan saat ini mengingatkan saya pada situasi 1986, ketika harga minyak terus di level rendah. Masih akan lama sebelum kita kembali melihat harga di level US$100 lagi,” ujar BP CEO Bob Dudley.
- “Harga minyak bisa jatuh ke level US$30 per barel dan baru akan rebound dalam dua hingga tiga tahun mendatang,” ungkap Fumiya Kokubu, CEO of Marubeni Corp.
- “Harga masih berada di bawah. Untuk jangka panjang, kemungkinan level US$60 akan menjadi poin sasaran,” ujar Bill O’Grady, Chief Market Strategist Confluence Investment Management.