Bisnis.com, NEW YORK - Obligasi Amerika Serikat mengalami kemerosotan terburuk akibat pertumbuhan ekonomi dan inflasi AS sejak 2008, momentum kejatuhan nilai obligasi terjadi hingga level terendah selama krisis keuangan.
Sebagian besar ekonom menilai kondisi ekonomi AS akan lebih baik, pertumbuhan meningkat, lapangan kerja kembali tersedia, dan upah siap naik. The Federal Reserve bahkan sedang menyiapkan kenaikan suku bunga untuk pertama kalinya sejak 2006.
Kendati demikian, imbal hasil obligasi AS (treasury) terus mengalami tekanan satu demi satu. Hal itu menandakan investor percaya bahwa pemulihan ekonomi belum bisa memberi solusi bagi serangan deflasi, yakni penghambat investasi dan belanja.
Penyebab utamanya ditengarai ialah menurunnya harga minyak dan memburuknya pertumbuhan ekonomi global. Salah satu metrik pasar obligasi telah menunjukkan harga komoditas diperkirakan menyusut pada tahun depan.
"Apa yang terjadi pada pasar obligasi senilai US$12 triliun itu mencerminkan pertemuan beberapa kekuatan yang besar,"ujar William O'Donnell, Head US Government Bond Strategist at Stamford, Connecticut-berbasis RBS Securities Inc, seperti dikutip dari Bloomberg, Selasa(20/1/2015).
Penyebab kedua bermuara pada risiko yang mempengaruhi imbal hasil. Ketika kondisi terlihat tidak pasti, investor menumpukkan dana ke treasury, mendorong penurunan yield.
Bahkan saat ini, imbal hasil untuk surat utang bertenor 10 tahun merosot tajam dalam perhitungan tahunan (year to date) sejak 1960-an. Meski demikian, yield obligasi AS masih lebih tinggi dibandingkan sejumlah negara termasuk Jerman, Kanada, dan Italia. Di Swiss, yield acuan bahkan sudah negatif.
Sejumlah ekonom yang disurvei oleh Bloomberg mengatakan penurunan harga minyak akan mendorong lebih banyak dana ke kantong AS dan mendorong pertumbuhan ekonomi AS mencapai 3,15% pada 2015, kenaikan tercepat sepanjang satu dekade.
Kepercayaan konsumen sudah meningkat setelah lapangan kerja lebih banyak tersedia pada tahun lalu dibandingkan tahun-tahun sebelumnya sejak 1999.