Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

2015, Saham Emiten BUMN Tetap Jadi Primadona

Satrio Utomo, Kepala Riset PT Universal Broker Indonesia, mengatakan saham-saham emiten pelat merah akan tetap menjadi primadona dan menjadi penggerak IHSG sepanjang tahun depan.

Bisnis.com, JAKARTA--Satrio Utomo, Kepala Riset PT Universal Broker Indonesia, mengatakan saham-saham emiten pelat merah akan tetap menjadi primadona dan menjadi penggerak IHSG sepanjang tahun depan.

Imbal hasil yang diberikan saham-saham BUMN bakal lebih banyak disumbang dari sektor konstruksi dan infrastruktur.

"Saham BUMN masih akan terus memberikan return yang lebih tinggi dibandingkan IHSG. Sektor konstruksi masih akan menjadi primadonanya indeks seiring dengan banyaknya proyek pemerintah tahun depan," ungkapnya saat dihubungi Bisnis, Selasa (30/12/2014).

Dalam jangka pendek, saham kontraktor BUMN dinilai berisiko terkena aksi ambil untung. Sebulan terakhir, saham-saham emiten konstruksi dinilai telah melejit cukup tinggi sehingga rawan aksi profit taking.

Akan tetapi, dia menilai koreksi saham-saham sektor konstruksi tidak akan besar pada tahun depan. Pasalnya, tidak ada peristiwa besar yang dapat menekan saham sektor konstruksi sepanjang tahun depan.

Saham empat kontraktor BUMN, yakni ADHI, PTPP, WSKT, dan WIKA, dinilai masih memiliki potensi yang cukup merata. Selain dari proyek dalam negeri, kemampuan emiten tersebut ekspansi ke kawasan regional dan global juga menjadi catatan penting bagi investor.

Target pemerintah dalam pembangunan infrastruktur pendukung energi alternatif juga membuat saham PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. dan PT Jasa Marga (Persero) Tbk. turut moncer.

Kendati demikian, rencana pemerintah yang akan menyuntikkan modal melalui right issue terhadap tiga emiten, yakni PT Aneka Tambang (Persero) Tbk., WSKT, dan ADHI, akan terus berada dalam radar investor pada tahun depan.

"Kalau ANTM prospeknya agak kurang, kalau WSKT dan ADHI dengan adanya right issue dapat menggarap proyek-proyek yang lebih besar lagi," paparnya.

Tekanan terhadap ANTM, sambungnya, lebih diakibatkan kemampuan perseroan dalam pembangunan smelter. Lemahnya harga komoditas juga dinilai menjadi penekan terhadap saham ANTM dan emiten pertambangan pelat merah seperti TINS serta PTBA.

Adapun saham perbankan BUMN seperti BBRI, BMRI, BBNI dan BBTN, dinilai masih tumbuh normal. Emiten perbankan akan tumbuh seiring dengan membaiknya pertumbuhan ekonomi pada kuartal II dan III tahun depan bersamaan dengan emiten konsumer.

Sementara sektor farmasi, KAEF dan INAF diperkirakan masih akan tertekan dengan pelemahan nilai tukar rupiah. Tetapi, masih ada harapan pada kuartal II dan III tahun depan terhadap saham farmasi apabila pemerintah mampu menangani defisit neraca perdagangan sehingga kurs rupiah bakal menguat.

Kiswoyo Adi Joe, analis PT Investa Saran Mandiri, menilai return saham emiten pelat merah jauh lebih tinggi dibandingkan IHSG karena memang kapitalisasi pasar mereka mencapai sepertiga dari total kapitalisasi pasar di BEI.

Lonjakan return saham emiten konstruksi BUMN yang menjadi jawara pada tahun ini benar-benar dipengaruhi oleh "Jokowi effect". Investor menilai rencana pembangunan infrastruktur oleh pemerintahan baru bakal berdampak positif terhadap kinerja kontraktor BUMN.

"Tahun depan saham konstruksi BUMN akan melambat, tapi secara rata-rata return saham BUMN akan masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan IHSG," ungkapnya.

Dia menilai, saham-saham sektor perbankan diperkirakan akan memberikan return tertinggi sepanjang 2015. Pasalnya, bila kontraktor sudah menjalankan proyek, tentunya mereka akan membutuhkan pendanaan yang besar.

Peluang itulah yang dinilai Kiswoyo sebagai pendorong bagi investor untuk mengoleksi saham-saham perbankan milik pemerintah. Dia menyarankan untuk mengoleksi BMRI dan BBRI. 

Selain itu, dia menilai peluang terjadi kenaikan saham yang tinggi juga pada JSMR dan PGAS. Potensi kenaikan tersebut diperkirakan karena peningkatan trafik jalan tol dan kebutuhan gas di dalam negeri.

Adapun, tantangan yang akan dihadapi emiten BUMN pada tahun depan adalah pengurangan jumlah utang khususnya valas serta tekanan terhadap harga komoditas. Tahun depan, harga komoditas yang diperkirakan belum akan membaik membuat emiten sektor tersebut tak mampu menggenjot laba.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Sukirno
Editor : Saeno

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper