Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

GEJOLAK RUPIAH: Stress Test BI, Ekonomi Masih Bisa Tahan Pelemahan Rupiah Sampai Rp15.500 per Dolar AS

Anjloknya nilai tukar dengan level yang cukup dalam tampaknya sudah diprediksi oleh BI, bahkan ekspektasi terburuknya bisa terjungkal hingga Rp15.500 per dolar Amerika Serikat sebagai konsekuensi dominasi hot money di pasar domestik.
Perdagangan dolar AS dengan rupiah. Diklaim BI sudah prediksi skenario terburuk/Bisnis
Perdagangan dolar AS dengan rupiah. Diklaim BI sudah prediksi skenario terburuk/Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA-- Gejolak nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sudah dihitung oleh Bank Indonesia dengan segala konsekuensinya. Bahkan, dalam stress test BI, kalaupun rupiah melemah hingga Rp15.500 per dolar AS, sistem ekonomi, korporasi dan perbankan masih bisa tahan.

“Ini sudah masuk perhitungan. Dalam stress test-nya BI bahkan memasukkan skenario sampai Rp15.500. Itu artinya BI sudah memperkirakan bisa segitu,” kata peneliti dari Indonesia Research Institute Yanuar Rizky, Rabu (17/12/2014).

Mengutip paparan stress test BI pada Oktober 2014, otoritas moneter itu menyertakan skenario depresiasi nilai tukar di atas Rp15.500 per dolar AS. Angka tersebut digunakan untuk menguji ketahanan korporasi terkait kewajiban valasnya.

Dia menambahkan lemahnya posisi rupiah dipicu oleh aliran hot money yang masuk sejak 2008 saat Bank Sentral AS Federal Reserve memulai program pelonggaran moneter atau quantitative easing (QE).

Hal ini dikonfirmasi oleh dominasi asing baik di pasar uang maupun pasar saham. Data dari Dirjen Pengelolaan Utang (DJPU) Kemenkeu menunjukkan kepemilikan asing di pasar surat utang negara sempat melampaui level 37% dan menjadi yang tertinggi dalam sejarah.

 Kini, saat hot money berbalik kembali ke AS pasar domestik menjadi lesu sehingga stabilitas nilai tukar pun ikut terganggu. Yanuar menekankan perlemahan ini adalah konsekuensi dari kebijakan yang membuka lebar-lebar aliran uang murah ke pasar dalam negeri.

Pada saat yang sama, negara lain seperti Thailand dan China menerapkan aturan yang lebih ketat sehingga volatilitas di pasar keuangan dan modalnya lebih sempit dibandingkan dengan Indonesia.

Terkait hal tersebut ekonom dari Standard Chartered Eric Sugandi mengungkapkan saat ini rupiah memang undervalue. Selain depresiasi yang cenderung paling dalam di kawasan regional, hal ini tercermin dari real effective exchange rate(REER) rupiah yang berada di bawah 100. “Sampai Rp12.700 saja sudah excessive."

Data dari Bank for Internastional Settlement (BIS) menunjukkan sepanjang November 2014 REERrupiah tercatat pada level 78,45. Indikator ini terus menjauhi level 100 sejak akhir 2010. Sementara pada saat yang sama REER mata uang negara Asean lainnya masih di atas 100, misalnya baht dan peso yang masing-masing sebesar 103,95 dan 106,11.

Seharusnya, dengan kondisi saat ini nilai normal rupiah masih ada di kisaran Rp12.200. Sementara dalam 2 hari terakhir rupiah malah sempat terjungkal hingga Rp12.900 per dolar AS sebelum tertolong oleh intervensi BI dan kembali ke kisaran Rp12.700.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Ismail Fahmi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper