Binis.com, JAKARTA--Harga batubara tampaknya bakal kian tertekan. Pasokan yang masih menggunung belum juga diimbangi oleh permintaan. Terlebih, kini permintaan China terancam mengkeret karena isu lingkungan.
Seperti dikutip dari Bloomberg, Kamis (5/6/2014) laporan dari Carbon Tracker Initiative dan Association for Sustainable and Responsible Investment menyebutkan pada 2020 produksi energi China diperkirakan akan turun sekitar 40% dibandingkan produksi 2012.
Padahal sebagian besar produksi listrik di Negeri Tirai Bambu itu berasal dari batubara. Belakangan China banyak dikritik atas penggunaan batubara tersebut karena tak ramah lingkungan.
Data Bank Dunia menyebutkan China adalah penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, negara itu lantas menjadi bulan-bulanan sebagai pihak yang punya andil besar atas bencanan kekeringan, banjir, dan naiknya permukaan air laut.
Pada 2013 China masih menduduki peringkat puncak pengimpor batubara dengan nilai US$21 miliar. Sebagian besar berasal dari Australia dan Indonesia.
Sebelumnya, sejumlah analis membenarkan bahwa batubara memang terancam oleh isu lingkungan.
Menurut pengamat perbatubaraan Ibrahim, saat ini pasar cenderung beralih pada sumber energi yang lebih ramah, seperti gas alam. Menurutnya harga batubara masih sulit bergerak ke atas.
Kepala Analis PT Platon Niaga Berjangka Lukman Leong juga masih pesimistis dengan komoditas yang pernah dijuluki sebagai emas hitam itu. Pertumbuhan permintaan China juga terpangkas oleh melambatnya pertumbuhan ekonomi setempat.
Para pelaku industri batubara pun tak menampik hal tersebut. Ditemui beberapa waktu lalu, Direksi PT Indo Tambangraya Megah Tbk. (ITMG), salah satu produsen batubara terbesar di Indonesia, mengatakan tahun ini pihaknya memprediksi permintaan China memang bakal melambat. Pada 2013, ekspor ITMG ke China tercatat sebesar 28% sedangkan 16% ke Jepang dan 9% ke India.