Bisnis.com, JAKARTA- Depresiasi rupiah yang menembus Rp12.000/US$ terlalu murah atau nilai tukarnya lebih tinggi 15% dibandingkan dengan keadaan normal.
Kepala Ekonom Samuel Asset Management Lana Soelistianingsih mengatakan berdasarkan teori Interest Rate Parity (IRP) seharusnya nilai tukar rupiah tidak lebih dari 5% hingga 7%. IRP menggunakan indikator selisih tingkat suku bunga dan peringkat utang (risk premium) antara Indonesia dengan Amerika Serikat.
Selisih tingkat suku bunga kedua negara mencapai 7,25%, sedangkan perbedaan risk premium mencapai 250-350 basis poin atau rata-rata 2,5%.
“Angka Rp12.000/US$ ini sudah kebablasan, peningkatannya mencapai 22%. Jika menurut IRP nilai tukar kita berkisar Rp10.500/US$,” kata Lana kepada Bisnis, Minggu (1/12/2013).
Dia menambahkan kenaikan nilai tukar tersebut disebabkan pertama, masih tingginya permintaan mata uang dolar di dalam negeri. Padahal, menurut siklus permintaan mata uang Negeri Paman Sam seharusnya mulai menurun pada Desember.
Kedua, para eksportir masih enggan untuk melepas dolar yang didapat dari aktivitas perdagangan mereka. Bahkan, hasil ekspor lebih banyak disimpan di beberapa bank di luar negeri
Ketiga, masih banyak pihak yang beranggapan bahwa nilai tukar rupiah masih berisiko melemah hingga tahun depan. Ini menyebabkan semakin banyak orang yang menahan dolarnya.
Dia memprediksi nilai tukar rupiah akan segera menguat pada pekan depan. Berdasarkan pengalaman pada 2009 saat dolar menembus Rp12.300, durasi penguatan tersebut hanya bertahan selama 2 hari.