Bisnis.com, JAKARTA - Kinerja industri logam diprediksi melambat pada paruh kedua tahun ini, seiring dengan menurunnya permintaan logam dari sektor swasta maupun pemerintah. Anggaran belanja pemerintah yang dianggarkan dalam APBN 2013 diprediksi tidak terserap penuh.
Dampak inflasi dan nilai tukar juga dipastikan membuat pencapaian emiten di sektor tersebut menurun dibandingkan dengan kinerja pada semester I/2013.
Analis PT.Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Guntur Tri Hariyanto mengemukakan meskipun Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (The Indonesia Iron and Steel Industry Association/IISIA) memprediksi permintaan baja tetap tumbuh 8% menjadi 8 juta ton, dia tidak terlalu yakin karena penyerapan anggaran pemerintah sangat lamban.
“Untuk tahun ini, kemungkinan terjadi perlambatan konsumsi logam,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (23/9/2013).
Kendati kinerja paruh kedua tahun ini melambat, Guntur memperkirakan pencapaian untuk setahun penuh masih lebih baik dibandingkan dengan kinerja tahun lalu.
Menurutnya, sejumlah tantangan yang harus dihadapi industri logam saat ini adalah arus impor yang besar, di tengah tingkat kompetitif industri logam nasional yang lemah, baik dari sisi biaya produksi maupun kualitas produknya.
Kebijakan bea masuk antidumping (BMAD) untuk beberapa tipe produk yang diimpor, seperti hot rolled coil dan hot rolled plate, diharapkan dapat mengerem tekanan produk logam impor.
Berdasarkan data yang dihimpun Bisnis, 13 emiten logam mencetak pertumbuhan laba bersih sebesar 323% menjadi Rp438,44 miliar pada paruh pertama tahun ini dibandingkan dengan perolehan pada periode yang sama tahun lalu.
Peningkatan laba bersih disebabkan penurunan harga bahan baku yang mulai terjadi sejak Februari 2013 dan kemudian mencapai titik terendahnya pada Juni lalu. Hal itu membuat margin emiten logam membaik. Namun, saat ini harga bahan baku kembali rebound.