Bisnis.com, JAKARTA—Ringgit Malaysia dan baht Thailand memimpin penguatan mata uang Asia setelah bank sentral Amerika Serikat (the Fed) tidak jadi melakukan perubahan kebijakan stimulus moneternya yang memicu lonjakan atas permintaan aset emerging market.
Gubernur the Fed, Ben S. Bernanke dinihari WIB, Kamis (19/9/2013) menekankan bahwa langkah pembelian obligasi bergantung pada kondisi ekonomi dan bank sentral tidak memutuskan kapan pengetatan stimulus moneter dilakukan.
Baht naik ke level tertinggi sejak 2007, sedangkan ringgit menguat ke posisi tertinggi dalam tiga tahun. Imbal hasil dari obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun turun 16 basis poin kemarin atau penurunan tertinggi sejak Oktober 2011.
“Anda harus ikut arus pasar saat ini dan membeli aset berisiko mata uang ,” ujar Mitul Kotecha, kepala kebijakan strategi nilai tukar pada Credit Agricole SA di Hong Kong sebagaimana dikutip Bloomberg, Kamis (19/9/2013).
Dia juga memberi catatan bahwa salah satu nilai tukar yang berkorelasi langsung dengan imbal hasil obligasi AS adalah rupiah, baht dan rupee India.
Nilai baht naik 2% menjadi 31,03 per dolar AS pada pukul 10.15 di Bangkok atau melaju ke level tertinggi sejak Januari 2007, menurut data yang dikumpulkan Bloomberg. Ringgit menguat 2,3% menjadi 3,1605 dan rupiah menguat 1,4% menjadi 11.318 sekaligus penguatan tertinggi sejak Mei 2012. (ltc)