Bisnis.com, JAKARTA— Pekan lalu pecah kerusuhan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Tandjung Gusta, Medan. Akibatnya, lima orang kehilangan nyawa, ratusan narapidana melarikan diri. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri dikabarkan sempat murka menyusul kejadian tersebut akibat lambannya informasi yang diterima.
Faktor penyebab kerusuhan disebut-sebut karena minimnya fasilitas listrik dan air bersih serta keresahan para narapidana akibat munculnya Peraturan Pemerintah No.99/2012. Sekadar diketahui,PPNo.99/2012 itu mengatur pengetatan pemberian remisi atau masa pemotongan tahanan bagi narapidana narkoba, korupsi, dan terorisme.
Berdasarkan ketentuan yang ada selama ini, setiap narapidana bila berkelakuan baik bisa mendapatkan remisi setiap perayaan hari kemerdekaan 17 Agustus dan perayaan hari raya keagamaan. Persoalannya selama ini, pemberian remisi terkesan sangat mudah bahkan seperti diobral, terlebih bagi narapidana kasus korupsi yang memiliki jaringan hukum dan kekuatan ekonomi memadai yang dengan mudah memanfaatkan praktik korupsi yang masih terjadi di lingkungan lembaga pemasyarakatan.
Akibatnya seringkali narapidana kasus korupsi hanya menanggung masa hukuman yang sangat singkat di tahanan, sehingga terasa tidak setimpal dengan perbuatannya yang sangat merugikan rakyat.
Itulah yang melatarbelakangi lahirnya PP No.99/2012 yang terbit 12 November 2012. Salah satu ketentuan dalam PP 99/ 2012 adalah adanya persyaratan khusus atau pengetatan dalam pemberian remisi kepada terpidana kasus korupsi. Dengan adanya PP itu, remisi bagi terpidana korupsi yang biasa didapatkan di hari raya atau hari kemerdekaan hanya dapat diberikan dengan catatan bersedia menjadi justice collabolarator dan membayar uang pengganti.
Perlawanan pun muncul dengan terbitnya PP No.99/2012 itu. Sejumlah narapidana kasus korupsi yang didampingi pengacara Yusril Ihza Mahendra mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung terkait Pasal 34 A PP No 99/2012. Pasal itu mengatur ketentuan remisi bagi narapidana kasus korupsi.
Tidak hanya itu. Selain langkah hukum, para narapidana kasus korupsi pun menempuh langkah politis kala 106 napi kasus korupsi dari LP Sukamiskin, Bandung,mengirim surat permohonan perlindungan hukum kepada Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso pada 22 Mei 2013.
Priyo lantas mengirimkan surat ke Presiden menyangkut permohonan dari para narapidana tersebut. Lantas terjadilah kerusuhan di LP Tanjung Gusta, yang salah satu penyebab munculnya kerusuhan itu adalah keresahan akibat PP No.99/2012.
Menkumham Amir Syamsudin pun lantas menerbitkan surat edaran bahwa PP No.99/2012 hanya berlaku bagi para narapidana yang putusannya telah memiliki kekuatan hukum tetap setelah 12 November 2012.
Banyak pelajaran yang bisa kita petik dari terbitnya PP No.99/2012 tersebut maupun upaya perlawanan dari para narapidana—terutama napi kasus korupsi—untuk membatalkan aturan tersebut. Kita melihat para koruptor beserta antek-anteknya dengan intelektualitas dan kekuatan ekonomi yang dimilikinya selalu berusaha menihilkan langkah hukum untuk menghabisi tindak pidana korupsi.
Dalam konteks ini, harian ini senada dengan Koalisi Masyarakat Sipil yang melihat lahirnya PP No. 99/2012 harus dinilai sebagai dukungan pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi dan menjawab desakan publik agar ada upaya pemberian efek jera terhadap koruptor.
Peraturan itu dianggap sudah mewakili semangat pemberantasan korupsi yang selama ini digalakkan pemerintah. Oleh karena itu, para pihak yang mempersoalkan keberadaan PP ini sama saja artinya tidak menyetujui usaha-usaha negara mengembalikan kerugian negara yang dijarah oleh koruptor.
Bisa jadi upaya menghilangkan PP No.99/2012 berdalih adanya pelanggaran HAM para napi tersebut. Namun apakah mereka juga mempersoalkan HAM seluruh rakyat Indonesia saat melakukan tindak pidana korupsi?
Sekali lagi,semua pihak harus ingat bahwa korupsi merupakan tindak pidana yang sangat luar biasa. Dampaknya sangat merugikan dan menyengsarakan masyarakat luas. Indonesia pun dianggap sebagai salah satu jawara dalam urusan korupsi di tingkat dunia. Kita semua tentu tidak ingin tindak pidana korupsi semakin mewabah.
Oleh karena itu, penanganan kasus korupsi maupun terhadap para pelakunya seharusnya perlu ketegasan yang jelas. Tidak ada ampun bagi para koruptor. (ltc)