Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mengintip Kinerja Astra Agro Lestari Tbk

BISNIS.COM, JAKARTA-LEBIH dari 1 dekade diperkenalkan PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI), pangsa pasar Cap Sendok mungkin tak lebih dari 2%. Pamor produk yang membawa bendera Grup Astra itu jelas kalah tenar dari Bimoli milik Grup Salim atau Filma besutan

BISNIS.COM, JAKARTA-LEBIH dari 1 dekade diperkenalkan PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI), pangsa pasar Cap Sendok mungkin tak lebih dari 2%.
Pamor produk yang membawa bendera Grup Astra itu jelas kalah tenar dari Bimoli milik Grup Salim atau Filma besutan Grup Sinar Mas.

Bahkan, Cap Sendok tidak pernah tersulut intimidasi pariwara ‘2x penyaringan’. Merek dagang Astra itu seolah tersalip dari bisingnya perseteruan nama-nama besar di industri
minyak goreng. Alhasil, konsumsi Cap Sendok minim dengan volume dan cakupan distribusi terbatas.

Miskinnya kreativitas membuat Astra tak banyak bermain di bisnis refinery. Padahal, Grup Salim mengeruk banyak keuntungan pada segmen produk konsumen bermerek yang notabene berbahan baku minyak sawit mentah (crude palm oil/ CPO). Bisnis turunan CPO selayaknya tak digarap setengah hati karena memberikan nilai tambah di tengah keterpurukan harga komoditasnya.

Agresivitas perlu diadaptasi seperti saat Astra tanggap dan serius menggeluti agribisnis sejak 1982. Berbeda dengan refinery, agribisnis kini tak hanya sekadar ‘lahan bermain’ bagi konglomerasi Grup Astra. Mereka sempat malu-malu menggarap 2.000 hektare kebun ubi kayu di Sumatra, sebelum dikonversi menjadi karet dan sawit.

Setelah melalui rangkaian aksi akuisisi, Astra Agro kini menguasai lahan kelapa sawit tertanam seluas 274.100 hektare. Konsesi kebun diperkuat 26 pabrik pengolahan
minyak kelapa sawit dengan total kapasitas produksi sebesar 1.230 ton tandan buah segar (TBS) per jam.

Kapasitas itu menempatkan perusahaan sebagai produsen CPO terbesar di Indonesia dengan total produksi 1,4 juta ton per tahun. Idealnya, volume itu lebih dari cukup untuk mengangkat pamor minyak goreng Cap Sendok dan bersaing sejajar dengan nama-nama beken lainnya.

“Kami serius menggarap bisnis refinery. Saat ini, refinery di Aceh dan Kalimantan Timur sedang dalam tahap penyelesaian. Kami juga sedang merencanakan proyek
baru di Sulawesi Tengah dan Kalimantan Selatan yang direncanakan selesai 2014,” kata Widya Wiryawan, Dirut Astra Agro.

Perseroan telah menyiapkan belanja modal (capital expenditure/capex) pada kisaran US$300 juta–US$350 juta. Investasi itu akan digunakan untuk menambah jumlah produksi dan kapasitas penyimpanan hasil produksi.

 

Keseriusan Astra Agro menggarap bisnis refinery patut ditunggu. Pasalnya, konsentrasi bisnis saban tahun selalu fokus pada sektor hulu.

Perseroan terlalu naïf merespons pelemahan harga CPO dengan terus meningkatkan penjualan minyak sawit mentah.

AGRESIF MENJUAL

Astra Agro seperti tak kehabisan energi guna memacu agresivitas penjualan. Sampai akhir April, perusahaan melaporkan telah menjual 508.505 ton CPO, tumbuh 25,9% dari periode sama 2012 sebesar 403.802 ton. Harus diakui, determinasi itu cukup jitu menutup pelemahan 17,8% harga rata-rata CPO milik perseroan dari Rp7.932 menjadi Rp6.518 per kilogram.

Jika dihitung, nilai penjualan CPO tetap tumbuh 3,4% dari Rp3,20 triliun menjadi Rp3,31 triliun. Apalagi, mendekati bulan puasa, harga minyak sawit mentah diproyeksi sedikit
mendaki. Belum lagi, musim penghujan tahun ini diperkirakan lebih panjang. Fenomena itu bisa jadi bekal berharga untuk memastikan target penanaman baru dan peremajaan kebun berjalan sesuai rencana, bahkan lebih baik.

Hingga akhir kuartal I/2013, Astra Agro telah merealisasikan setengah dari target penambahan lahan tertanam sawit tahun ini seluas 16.000 hektare. Penambahan luas lahan tertanam sawit tersebut menghijaukan konsesi kebun yang dikuasai di Adau, Kalimantan Barat.

Dengan begitu, luas lahan tertanam sawit Astra Agro telah mencapai kurang lebih 274.100 hektare, yang terdiri dari perkebunan inti dan plasma. Dari total lahan tertanam tersebut, lebih dari 86% tanaman telah memasuki usia produktif.

Di tengah pertumbuhan lahan tertanam dan penjualan CPO, transformasi menuju industri bernilai tambah masih belum banyak terlihat. Desain bisnis Astra Agro belum beringsut meninggalkan foot-loose industry yang lebih mengedepankan skala produksi dan pembangunan pabrik olahan.

Jika dibiarkan terus, Astra Agro akan terus kejar-kejaran dengan paceklik harga CPO yang diperkirakan berlanjut hingga tahun depan.

Joseph Pangaribuan, analis PT Samuel Sekuritas Indonesia, berasumsi harga jual CPO Astra Agro akan merosot 6% sehingga menggerus pendapatan perseroan hingga 2014. Di samping itu, dia memperkirakan biaya pemupukan akan mengalami kenaikan setelah tercatat cukup rendah pada kuartal I/2013 karena tingginya curah hujan.

Perseroan juga bakal terbebani peningkatan ongkos distribusi sebesar 51% akibat jauhnya lokasi penjualan CPO dari lahan baru di Kalimantan Timur yang terletak di Tanjung Bakau, Sulawesi Selatan.

“Namun, kami tidak terlalu mengkhawatirkan hal ini karena seluruh biaya transportasi akan dibebankan ke harga jual,” tulisnya dalam riset yang dipublikasi Jumat (31/5).

Dengan situasi itu, Joseph mengatakan target harga AALI menjadi Rp17.500, atau turun 18,6% dari estimasi sebelumnya, seiring penurunan laba bersih masing-masing 17,9% dan 16,4% untuk akhir 2013 dan 2014.



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Yusran Yunus
Sumber : Bisnis Indonesia

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper