Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

DAMPAK HARGA BBM: Biaya Emisi Obligasi Kian Mahal

BISNIS.COM, JAKARTA - Korporasi calon penerbit obligasi berisiko menanggung beban bunga utang sebesar 60 basis poin lebih besar dari level normal jika tidak cermat memilih momentum penawaran tahun ini.

BISNIS.COM, JAKARTA - Korporasi calon penerbit obligasi berisiko menanggung beban bunga utang sebesar 60 basis poin lebih besar dari level normal jika tidak cermat memilih momentum penawaran tahun ini.

Lana Soelistianingsih, ekonom PT Samuel Sekuritas Indonesia, memproyeksikan inflasi bulanan pada Mei dan Juni akan melambung 1,3% dengan akumulasi inflasi tahunan 6%-6,3%, akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

"Yield [imbal hasil] acuan obligasi pemerintah 10 tahun berpotensi melonjak 60 basis poin dari 5,4% ke 6%. Kami sarankan agar korporasi segera merilis obligasi kuartal ketiga setelah guncangan inflasi terhadap yield obligasi domestik mereda," ujarnya kepada Bisnis, Rabu (17/4).

Menurut dia, laju inflasi Juni akan melesat, tidak hanya karena kenaikan BBM, tetapi juga didorong oleh masuknya momentum tahun ajaran baru dan tingginya kebutuhan pangan dalam persiapan puasa dan lebaran. Kemudian September dan Oktober inflasi mereda karena musim panen.

Menurut dia, Bank Indonesia berpotensi menaikkan suku bunga acuan 25-50 basis poin ke 6%-6,25% untuk menjaga komposisi dana beredar. Namun, pasar obligasi lebih cepat berbalik arah ketimbang inflasi. Pasalnya, investor menunggu momentum koreksi untuk mendapatkan yield optimal.

"Setelah kenaikan yield, harga otomatis turun dan investor sudah mulai bersiap beli lagi. Jadi, pasar obligasi akan pulih lebih awal karena ekspektasi koreksi harga. Saya kira pada Juli, yield berpotensi kembali turun, dan harga naik lagi," jelasnya.

Untuk itu, Lana menyarankan calon penerbit obligasi untuk menawarkan surat utang pada kuartal III/2013, bersamaan ketika dana asing mulai bersiap kembali mengalir ke pasar obligasi domestik dan menurunkan tingkat imbal hasilnya.

Berdasarkan data IBPA, imbal hasil obligasi bertenor 5 tahun dengan peringkat utang AAA kuartal I/2013 hanya 7,55%, lebih rendah dari yield surat utang korporasi sejenis pada kuartal I/2012 yang 8,062%. Untuk obligasi tenor 2-3 tahun pada 2012 sebesar 6,73%, sedangkan tahun ini 6,64%.

Senada dengan Lana, analis PT Nusantara Capital Securities I Made Adi Saputra menyarankan korporasi untuk segera menawarkan surat utang pada kuartal II/2013, sebelum inflasi mempengaruh kenaikan yield, mengingat penaikan imbal hasil obligasi hanya sementara.

Begitu pula dengan analis PT Millenium Asset Management Desmon Silitonga. Dia mengatakan saat ini sejumlah penerbit tengah menghitung ulang tingkat kuponnya. Pilihan yang tersedia hanyalah tetap menerbitkan untuk membayar utang karena terpaksa atau mengurangi nilainya.

"Tapi, meski yield obligasi tahun ini berpotensi meningkat, kami perkirakan nilainya tidak jauh lebih tinggi dari tahun lalu. Kami juga yakin suplai penerbitan obligasi masih besar mengingat tingginya nilai jatuh tempo dari perusahaan sektor keuangan tahun ini, khususnya awal semester II."

Seolah mengonfirmasi pendapat Desmon, salah satu calon penerbit obligasi PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) mengaku tidak spesifik menentukan momentum emisinya. "Kami menerbitkan lebih karena kebutuhan saja, maka kami terbitkan sekarang," kata Direktur Keuangan Garuda Handrito Hardjono.


SENTIMEN IHSG
Sementara itu, Kepala Riset PT Buana Capital Alfred Nainggolan menyatakan wacana menaikkan harga BBM bersubsidi pada awal Mei mendatang dipastikan akan menjadi sentimen negatif terhadap indeks harga saham gabungan (IHSG).

Dia menilai IHSG akan terkonsolidasi pada awal Mei seiring dengan meningkatnya inflasi akibat kenaikan BBM bersubsidi. Kendati demikian, konsolidasi tersebut kemungkinan terbesar dikarenakan naiknya suku bunga acuan.

"Saya perkirakan inflasi akan naik diatas 6% pada Mei, sehingga mau tidak mau BI akan melakukan penyesuaian suku bunga acuan, mungkin sekitar 6,25%. Kenaikan suku bunga itu akan berimbas ke sektor-sektor yang sensitif seperti perbankan dari sisi permintaan kredit," katanya.

Dia memperkirakan sejumlah emiten perbankan akan merevisi target pendapatan akibat dampak kenaikan suku bunga acuan. Walau demikian, revisi tersebut tidak terlalu signikan mengingat pertumbuhan pendapatan emiten perbankan masih di kisaran 20%.

Di lain sisi, kenaikan suku bunga acuan tersebut akan membuat pasar obligasi menjadi tidak menarik. Menurutnya, jika imbal hasil keduanya sama, maka deposito menjadi lebih menarik karena tidak memiliki resiko gagal bayar.

Analis PT First Asia Capital David Sutyanto menilai kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar akan direspon negatif oleh pelaku pasar. Kendati demikian, dalam jangka panjang kenaikan harga bahan bakar berpeluang meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam negeri.

"Anggaran belanja pemerintah pastinya akan lebih ramping, sehingga pemerintah dapat leluasa mengalokasikan dana subsidi bahan bakar sebelumnya ke sektor yang lebih produktif, misalnya seperti infrastruktur," ujarnya.

(Faa)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Lavinda
Editor : Fahmi Achmad
Sumber : Ringkang Gumiwang

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper