BISNIS.COM, JAKARTA--Pengumuman inflasi Maret diprediksi berpengaruh signifikan terhadap penaikan imbal hasil obligasi acuan tenor 10 tahun sebesar 10-20 basis poin, paling tidak ke level 5,55%.
Analis Obligasi PT Millenium Danatama Indonesia Desmon Silitonga memproyeksikan Maret lalu terjadi inflasi di kisaran 0,2%-0,3%, lebih tinggi dari laju inflasi Maret 2011 senilai 0,07% dan Maret tahun-tahun sebelumnya yang selalu mengalami deflasi.
Timbulnya risiko ekonomi berpotensi mengangkat level imbal hasil (yield) acuan obligasi pemerintah Seri FR0063 dari level 5,45% pada pekan lalu menjadi 5,55% April 2013.
“Yield obligasi kemungkinan naik karena inflasi Maret. Kalau dilihat inflasinya terpengaruh harga komoditas seperti bawang, TDL [tarif dasar listrik] juga,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (31/3/2013).
Sebaliknya, Analis Obligasi IBPA Fakhrul Aufa memprediksi yield obligasi acuan akan menurun karena sentiman positif laju inflasi Maret yang diperkirakan lebih rendah dari inflasi Februari lalu sebesar 0,75%. Sayangnya Fakhrul enggan menyebutkan proyeksi kisaran yield obligasi.
“Bandingannya dengan Februari, jika inflasinya lebih rendah maka peluang penguatan pasar sangat terbuka apalagi harga obligasi saat ini sudah oversold,” tuturnya saat dihubungi Bisnis.
Di sisi lain, kepemilikan asing di pasar obligasi pemerintah tiba-tiba merosot hingga Rp3,16 triliun menjadi Rp281,07 triliun pada 27 Maret 2013, dari level tertinggi Rp284,23 triliun sepekan sebelumnya.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) Kementerian Keuangan, kepemilikan asing di pasar surat utang negara (SUN) per 21 Maret 2013 tercatat mencapai 33,29% dari total dana Rp853,90 triliun.
Namun kemudian melorot menjadi 32,92% dari total dana Rp853,87 triliun pada 27 Maret kemarin.
Fakhrul menilai pembalikan modal asing dari Indonesia terjadi karena terpengaruh meningkatnya peringkat utang negara tetangga Filipina ke level layak investasi (investment grade).
Menurut dia, investor asing banyak yang mengalihkan dananya ke negara berbahasa lokal Tagalog tersebut.
“Seperti yang saya perkirakaan sebelumnya, Filipina akan menjadi pilihan terbaik bagi investor global saat ini jika ingin berinvestasi di Asia Tenggara,” ujar Fakhrul.
Terlebih, Indonesia sedang dibayangi oleh kekhawatiran inflasi tinggi akibat kebijakan menaikkan TDL dan kemungkinan pembatasan atau penaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Dia mengestimasi aliran dana asing tahun ini akan sedikit menurun dibandingkan tahun sebelumnya. (ra)