Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Penurunan Saham Batu Bara, Sentimen China Diperkirakan Sementara

Sejumlah saham batu bara mendingin dalam waktu dekat seiring dengan penurunan harga batu bara global. Namun demikian, sentimen yang terutama dimotori oleh China diperkirakan berlangsung sementara.
Warga memancing ikan di sekitar kapal tongkang pengangkut batu bara di perairan Tanjung Emas, Semarang, Jawa Tengah, Selasa (30/10/2018)./ANTARA-Aji Styawan
Warga memancing ikan di sekitar kapal tongkang pengangkut batu bara di perairan Tanjung Emas, Semarang, Jawa Tengah, Selasa (30/10/2018)./ANTARA-Aji Styawan

Bisnis.com, JAKARTA—Sejumlah saham batu bara mendingin dalam waktu dekat seiring dengan penurunan harga batu bara global. Namun demikian, sentimen yang terutama dimotori oleh China diperkirakan berlangsung sementara.

Pada penutupan perdagangan Rabu (21/11), harga batu bara Newcatsle kontrak teraktif Januari 2019 turun 0,80 poin atau 0,81% menjadi US$98,35 per ton. Harga melesu dalam 8 sesi perdagangan berturut-turut dan meninggalkan level psikologis US$100 per ton.

Analis Kresna Sekuritas Robertus Yanuar Hardy menyampaikan, ada kemungkinan penurunan harga batu bara Newcastle menyebabkan melesunya saham emiten batu bara. Pelemahan harga terutama disebkan sentimen dari China.

“Ini sebetulnya panic selling saja. [Secara fundamental] sebenernya kan harga jual beli batubara emiten sudah kontrak dari jauh-jauh hari. Gak ada yang pakai harga spot,” tuturnya saat dihubungi, Kamis (22/11).

Saat ini, China sebagai importir batubara terbesar di Asia Pasifik sedang menetapkan pembatasan dan penundaan izin terhadap batubara impor. Sentimen itu kemudian membuat harga batubara Newcastle turun ke bawah US$100 per ton, atau pertama kalinya sejak Mei 2018.
 
Dalam 10 bulan pertama 2018, impor batu bara China mencapai 252 juta ton, naik 11% year on year (yoy) dari sebelumnya 227 juta ton. Namun, pemegang kebijakan bersikukuh menetapkan kuota impor 2018 sama dengan tahun lalu, yakni 270,9 juta ton.

Dengan demikian, kuota impor yang tersisa dalam 2 bulan terakhir 2018 ialah 18 juta—19 juta ton. Hal ini membuat pasar khawatir dengan prospek harga batu bara.

Robertus menjelaskan, pembatasan impor China diperkirakan berlangsung sementara. Alasannya, Negeri Panda hanya memiliki batu bara dengan kandungan sulfur dan fosfor yang tinggi, sehingga dapat memperparah polusi udara.

“Kami meyakini ke depannya China masih akan meningkatkan konsumsi batu bara impor dari Indonesia dan Australia, karena hasil pembakarannya yang lebih bersih,” imbuhnya.

Terlepas dari sentiment yang dimotori oleh China, saham-saham sektor pertambangan termasuk dalam kategori lapis kedua. Saham kelas tersebut biasanya cenderung underperform apabila Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tengah memasuki fase menanjak.

Dalam sebulan terakhir, IHSG menguat 4,93%. Namun, dalam periode yang sama saham-saham batu bara berkapitalisasi besar malah menurun, seperti PTBA -1,86%, ITMG -23,86%, ADRO -23,05%, sedangkan BYAN hanya naik 1,54%.

Robertus menyarankan pelaku pasar untuk tetap tenang dan mengambil posisi buy on weakness untuk saham batu bara, terutama PTBA dan ITMG. Target harga kedua saham masing-masing Rp5.500 dan 30.000.

“Kedua emiten yang itu juga biasa membagikan dividen pada bulan Maret dan April. Faktor ini bisa jadi pertimbangan,” tuturnya.

Pada 2019, dia memerkirakan permintaan batu bara di beberapa konsumen utama seperti China, India, Jepang, dan Korea Selatan masih tetap tinggi. Penyerapan pasar domestik juga cenderung bertumbuh karena naiknya kebutuhan untuk pembangkit listrik, industri baja, dan semen.

Robertus memerkirakan, tahun depan harga rata-rata batu bara kalori tinggi (6.300 Kcal/kg) akan berada di level US$104—US$105 per ton, dari 2018 sebesar US$108—109 per ton.

Adapun, rerata harga batu bara kalori rendah (4.200 Kcal/kg) diestimasi berada di posisi US$44—US$45 per ton pada 2019, dibandingkan tahun ini senilai US$42—US$43 per ton. Perbedaan antara batu bara kalori tinggi dan rendah biasanya berkisar 60%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Hafiyyan
Editor : Rustam Agus

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper