Bisnis.com, JAKARTA – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu berbalik menguat pada akhir sesi I perdagangan hari ini, Kamis (25/10/2018), bahkan di saat hampir seluruh bursa di Asia melemah.
Berdasarkan data Bloomberg, IHSG berbalik menguat 0,04% atau 2,15 poin ke level 5.711,57 pada akhir sesi I, meskipun dibuka dengan pelemahan 1,39% atau 79,47 poin di level 5.629,95.
Sepanjang perdagangan hari ini, IHSG bergerak pada level 5.623,84 – 5.719,04. Pada perdagangan Rabu (24/10), IHSG ditutup melemah 1,53% atau 88,47 poin di posisi 5.709,42.
Sebanyak 109 saham menguat, 238 saham melemah, dan 263 saham stagnan dari 610 saham yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia siang ini.
Tiga dari sembilan indeks sektoral IHSG berada di zona hijau di akhir sesi I, dengan dorongan utama dari sektor konsumer dengan penguatan 0,87%.
Di sisi lain, enam sektor melemah dan menahan penguatan IHSG lebih lanjut, dipimpin sektor properti yang melemah 1,24% dan sektor pertanian yang melemah 0,69%.
Baca Juga
IHSG mampu berbalik menguat di saat indeks saham lain di Asia Tenggara bergerak melemah siang ini, dengan indeks FTSE Malay KLCI turun 0,83% indeks FTSE Straits Time Singapura melemah 1,35%, indeks SE Thailand melemah 0,87% dan indeks PSEi Filipina merosot 2,35%.
Bursa saham di Asia merosot pada perdagangan hari inisetelah indeks saham di bursa Wall Street Amerika Serikat (AS) mencatatkan penurunan harian terbesarnya sejak 2011.
Di Asia, indeks Topix dan Nikkei 225 Jepang melemah 2,88% dan 3,59%, sedangkan indeks Hang Seng melemah 2,10%. Adapun indeks Shanghai Composite dan CSI 300 China melemah masing-masing 1,51% dan 1,44%.
Di Wall Street, proyeksi mengecewakan dari sejumlah produsen chip memukul sektor teknologi. Proyeksi ini mengikuti perkiraan yang lebih lemah dari ekspektasi pada Selasa (23/10) oleh raksasa industri Caterpillar dan 3M.
Indeks Nasdaq pun ditutup turun 12,4% dari rekor level penutupan tertingginya pada 29 Agustus sekaligus membukukan persentase penurunan harian terbesar sejak 18 Agustus 2011.
Pelemahan dalam saham teknologi AS menyebabkan investor memburu obligasi negara. Imbal hasil obligasi AS bertenor 10 tahun pun mencatatkan penurunan terbesar sejak Mei ke 3,11%.
“Data perumahan AS yang lesu, laporan laba perusahaan yang beragam, keresahan perang dagang, dan kekhawatiran mengenai ekonomi global yang melambat, semuanya berkontribusi terhadap aksi jual,” jelas Rivkin Securities dalam risetnya, seperti dikutip Reuters.
“Sentimen investor tetap berhati-hati saat kita mengantisipasi laporan lebih dari 100 perusahaan pada S&P 500 termasuk Amazon, Alphabet, dan Comcast.”