Bisnis.com, JAKARTA—Antisipasi investor terhadap perkembangan sentimen eksternal semakin menekan kinerja pasar obligasi Indonesia dan berpotensi terus berlangsung hingga beberapa pekan mendatang.
Kinerja pasar obligasi nasional terus melemah sejak akhir Januari 2018. Memasuki Maret 2018, Indonesia Composite Bond Index (ICBI) sudah mencatatkan return negatif secara year to date/ ytd.
Berdasarkan data Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA), ICBI per Rabu (7/3/2018) kemarin sudah melemah ke posisi 241,912. Posisi tersebut turun 0,48% ytd dibandingkan dengan posisi akhir 2017 yakni 243,085.
ICBI sempat melanjutkan reli yang terjadi sejak tahun lalu hingga mencapai posisi puncak pada Minggu (21/1/2018) yakni 247,462. Namun, sejak itu indeks terus terkoreksi hingga mulai mencatatkan return negatif secara ytd sejak akhir Februari lalu, Rabu (28/2/2018).
Saat itu, ICBI ditutup pada posisi 242,723, lebih rendah dibandingkan dengan posisi akhir 2017. Indeks masih terus melemah sejak saat itu dan hingga kemarin sudah turun 1,173.
Koreksi terbesar terjadi terutama disumbangkan oleh obligasi pemerintah, terlihat dari koreksi INDOBeX Government Total Return yang turun 0,63% ytd. Sementara itu, obligasi korporasi justru masih mencatatkan return positif, dengan kinerja return INDOBeX Corporate Total Return 0,48%.
Baca Juga
Koreksi yang terjadi di pasar obligasi ini tidak terlepas dari aksi jual yang terus dilakukan investor asing sejak Februari lalu.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Kementerian Keuangan, asing tercatat melakukan net sell Rp21,55 triliun sepanjang Februari. Menariknya, pada awal Maret posisi asing berkurang semakin banyak. Data terakhir DJPPR hingga Senin (5/3) lalu menunjukkan kepemilikan asing di instrumen SBN tinggal Rp836,94 trililun, atau telah terjadi net sell Rp11,28 triliun.
Dibandingkan dengan posisi akhir 2017 yang senilai Rp836,15 triliun, net buy asing sepanjang 2018 ini tinggal Rp790 miliar ytd. Secara persentase, kepemilikan investor asing terhadap total outstanding turun dari 39,82% pada akhir 2017 menjadi 39,05%. Padahal, kepemilikan asing pernah menyentuh 41,52% dari totap outstanding pada Kamis (25/1). Saat itu, total outstanding SBN Rp2.106,74 triliun dan kepemilikan asing Rp874,75 triun. Saat ini, total outstanding SBN adalah Rp2.143,17 triliun.
I Made Adi Saputra, Head of Fixed Income Research MNC Sekuritas, mengatakan bahwa koreksi ini masih akan berlangsung lama. Secara ytd, rata-rata yield surat utang negara untuk seluruh tenor sudah meningkat 20 bps, yang artinya telah terjadi koreksi harga yang cukup besar di pasar.
Saat ini, investor masih menunggu data krusial ketenagakerjaan AS yang akan dirilis Jumat pekan ini. Pada bulan lalu, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan lonjakan nonfarm payrolls yang signifikan sebesar 200.000 pada Januari 2018, meningkat dari 160.000 pada bulan sebelumnya.
Tingkat pengangguran turun ke level 4,1%, yang merupakan level terendah dalam 17 tahun. Upah per jam naik rata-rata 0,3% pada Januari 2018 menjadi US$26,74, atau menjadi 2,9% yoy. Tingkat penguatan pasar tenaga kerja Paman Sam ini menjadi yang terbesar sejak 2009.
Hal ini menjadi salah satu faktor yang mendorong capital outflow sebulan belakangan. Bila pada Jumat pekan ini rilis data ketenagakerjaan AS kembali positif, ekspektasi terhadap peningkatan inflasi AS kian tinggi.
Di sisi lain, potensi The Fed untuk memutuskan menaikkan suku bunga pada FOMC meeting 2 pekan setelahnya semakin besar. Tekanan terhadap pasar obligasi domestik menjadi semakin tinggi. Namun, bila sebaliknya, artinya data tenaga kerja AS tidak sebaik bulan lalu, ada harapan hal tersebut akan meredam tekanan yang sudah berlangsung selama ini.
“Masih akan panjang koreksi ini. Kita masih di bulan Maret dan kondisinya sudah seperti ini. Sekarang kami turunkan outlook untuk obligasi dari yang semula optimis positif menjadi netral,” katanya, Rabu (7/3).
Anil Kumar, Fixed Income Analyst Ashmore Asset Management Indonesia, mengatakan bahwa saat ini di dalam negeri pasar obligasi juga menghadapi sentimen perubahan kebijakan pemerintah terkait dengan subsidi energi. Namun, sejauh ini sentimen global masih menjadi penggerak utama pasar.
Di sisi lain, hasil lelang Surat Berharga Negara Syariah atau sukuk pada Selasa (6/3) lalu yang hanya mendulang permintaan investor senilai Rp8,6 triliun telah menunjukkan semakin lemahnya permintaan di pasar. Padahal, di awal tahun ini permintaan lelang sukuk sempat mencapai Rp32,28 triliun.
Menurutnya, investor asing masih berminat kembali masuk ke Indonesia, tetapi dengan kondisi global saat ini keputusan tersebut menjadi kurang menguntungkan bagi mereka.
“Kalau mau atau tidak, jawabannya mau, tetapi di imbal hasil berapa dan harga rupiah berapa? Salah satu harus kena, apakah rupiahnya yang melemah atau imbal hasilnya yang naik karena sekarang kondisi global itu yang membuat asing resisten untuk masuk ke pasar Indonesia,” katanya.
BI kemungkinan harus menginterfensi pasar bila tidak ingin rupiah terus melemah akibat aksi jual asing. Namun, hal tersebut akan menyebabkan surplus neraca pembayaran akan mengecil. Pemerintah harus hati-hati agar jangan sampai neraca pembayaran justru masuk dalam zona defisit.