Bisnis.com, JAKARTA—Harga batubara berpeluang memanas menuju US$100 per ton seiring dengan mengetatnya pasokan dan kenaikan permintaan dari pasar Asia.
Pada perdagangan Jumat (15/9/2017) pukul 16.19 WIB, harga batu bara Newcastle kontrak Oktober 2017 naik 0,05 poin atau 0,05% menuju US$98,75 per ton. Harga masih dekat level tertinggi sepanjang 2017 di posisi US$98,80 per ton.
Analis Australia & New Zealand Bank Daniel Hynes menyampaikan, peningkatan impor batu bara China dari India memberikan sentimen positif bagi pasar. Negeri Panda merupakan konsumen sekaligus produsen batu hitam terbesar di dunia.
“Kekurangan pasokan terlihat di seluruh wilayah Asia, pasokan pasar relatif ketat,” tuturnya seperti dikutip dari Bloomberg, Jumat (15/9/2017).
Impor China pada pekan yang berakhir Senin (11/9) naik 1,52% atau 51.616 ton menuju 2,88 juta ton. Pada Agustus, volume impor mencapai level tertinggi sepanjang 2017.
Hynes mengatakan, menjelang kuartal IV/2017, aktivitas restocking bisa mereda dan harga mengalami tekanan. Namun, aksi penjualan masih terbilang wajar dan tidak dilakukan secara besar-besaran.
Baca Juga
“Harga batu bara berpeluang memanas mencapai US$100 per ton,” paparnya.
Analis GF Futures Deng Shun menuturkan, harga batu bara juga meningkat akibat berkurangnya produksi. Data Biro Statistik Nasional (NBS) setempat menuliskan produksi batu bara China pada Agustus 2017 turun 1,2% month on month (mom) menjadi 9,38 juta ton. Namun, pasokan baru naik 4,1% secara year on year (yoy).
Menurut China Coal News, ada enam kasus kecelakaan di tambang batu bara Shanxi pada bulan lalu, sehingga menewaskan 20 orang. Kekhawatiran akan adanya insiden lanjutan membuat inspeksi keselamatan digencarkan, sehingga mengurangi volume produksi.
“Kecelakaan yang terjadi di Shanxi bisa mengurangi produksi dari provinsi yang menyumbang batu bara terbesar di China,” ujarnya.
Total pasokan batu hitam sepanjang Agustus 2017 bertambah 290,77 juta ton. Hasil ini membuat volume produksi selama Januari—Agustus 2017 mencapai 2,3 miliar ton, naik 5,4% yoy setelah pada tahun lalu pemerintah membatasi akvititas kerja tambang.
Melambatnya produksi pada bulan lalu membuat volume impor meningkat. Sebelumnya pada Juli 2017 jumlah impor melambat ke level terendah dalam 14 bulan terakhir.