Bisnis.com, JAKARTA — Emas memasuki paruh kedua 2025 mencatat lonjakan harga hingga 26% sejak awal tahun.
Mengutip laporan Gold Mid-Year Outlook 2025 dari World Gold Council, kenaikan harga emas dipicu oleh kombinasi pelemahan dolar AS, meningkatnya risiko geopolitik, kuatnya permintaan investor, serta pembelian berkelanjutan oleh bank sentral.
Meski beberapa faktor pendukung ini diperkirakan masih akan berlanjut, arah pergerakan harga emas ke depan tetap sangat bergantung pada sejumlah variabel penting, seperti ketegangan perdagangan global, dinamika inflasi, dan kebijakan moneter.
Berdasarkan ekspektasi konsensus, harga emas diproyeksikan akan mengakhiri tahun dengan pergerakan yang relatif stabil, disertai potensi kenaikan moderat jika kondisi makroekonomi tetap terkendali. Dukungan tambahan juga bisa datang dari masuknya investor institusi baru, termasuk perusahaan asuransi asal Tiongkok.
Namun, skenario geopolitik yang semakin bergejolak serta munculnya risiko stagflasi dan resesi global yang lebih nyata dapat meningkatkan permintaan terhadap emas sebagai aset lindung nilai (safe haven), sehingga mendorong harga ke level yang lebih tinggi.
Sebaliknya, jika terjadi normalisasi perdagangan global yang luas dan berkelanjutan, disertai dengan kenaikan imbal hasil obligasi serta membaiknya selera risiko investor, momentum penguatan harga emas dapat tertahan. Perlambatan permintaan dari bank sentral yang lebih besar dari perkiraan juga menjadi salah satu risiko penekan harga ke depan.
Baca Juga
Di tengah ketidakpastian tersebut, emas tetap dipandang sebagai aset strategis yang relevan, baik untuk diversifikasi maupun mitigasi risiko dalam portofolio investasi.
Dalam salah satu skenario, konsensus analis World Gold Council memproyeksikan bahwa harga emas berpotensi mengalami koreksi sebesar 12%–17% pada paruh kedua 2025. Dengan demikian, emas masih membukukan kenaikan tahunan, namun hanya di kisaran satu digit tinggi atau dua digit rendah. Penurunan ini diperkirakan sebanding dengan premi risiko perdagangan yang turut mendorong lonjakan harga emas di awal tahun.
Meredanya ketegangan geopolitik global, ditambah dengan kenaikan imbal hasil obligasi dan penguatan dolar AS, bisa mendorong arus keluar dari ETF emas serta menekan minat investasi secara keseluruhan. Bahkan, permintaan dari bank sentral bisa melambat jika investor kembali memilih obligasi pemerintah AS sebagai instrumen yang lebih aman.
“Dari sisi teknikal, level harga emas di US$3.000 per ons diperkirakan menjadi titik support penting. Jika harga turun mendekati level ini, bisa memicu aksi beli dari investor oportunistik. Namun, bila harga menembus ke bawah level tersebut, tekanan jual dapat meningkat lebih tajam,” tulis laporan tersebut.
Meski demikian, harga emas yang lebih rendah biasanya akan menarik konsumen yang sensitif terhadap harga, seperti sektor perhiasan, serta mengurangi pasokan dari aktivitas daur ulang. Hal ini diperkirakan dapat membatasi potensi penurunan harga lebih lanjut, bahkan di tengah tren kenaikan suku bunga dan penguatan dolar AS.