Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Buddi Wibowo

Dosen Pascasarjana FEB Universitas Indonesia

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Runtuhnya Bursa dan Policy Uncertainty

Kebijakan trading halt yang diambil oleh BEI cukup mampu meredam kepanikan investor, terlihat terjadinya rebound yang lumayan pada beberapa hari
Investor mengamati pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Jakarta, Selasa (18/3/2025). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Investor mengamati pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Jakarta, Selasa (18/3/2025). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA - Runtuhnya indeks harga saham Bursa Efek Indonesia sampai sekitar 7% dalam satu hari perdagangan pada Selasa 18 Maret 2025 memberikan efek kejut yang cukup besar kepada investor dan pemerintah secara keseluruhan.

Kebijakan trading halt yang diambil oleh BEI cukup mampu meredam kepanikan investor, terlihat terjadinya rebound yang lumayan pada beberapa hari setelah “abrupt down movement” tersebut.

Namun, sebagai sebuah leading indicator dari kondisi makroekonomi sebuah negara, turunnya indeks bursa saham harus dipahami, diantisipasi dan disikapi secara tepat dan bijak.

Menempatkan indeks bursa saham sebagai prediktor kondisi makroekonomi memang problematik. Ucapan dari Paul Samuelson, pemenang Nobel Ekonomi dan tokoh pemikir ilmu ekonomi modern mencerminkan problematika itu: “Wall Street indexes predicted nine out of the last five recessions!” Indeks bursa sering kali eksesif dan exagerating, investor seringkali terjebak pada over pesimism atau sebaliknya over optimism sehingga selalu muncul siklus naik turun bullish-bearish market di bursa.

Robert Barro & Jose Ursua, ekonom Universitas Harvard, dalam paper mereka yang berjudul: Stock-market crashes and depressions (2017) membuktikan bahwa ada 232 crash di bursa saham yang terjadi di berbagai negara dalam rentang lebih dari 100 tahun terakhir dan lebih dari 100 di antaranya diikuti kemudian diikuti kontraksi makroekonomi dalam bentuk pertumbuhan ekonomi yang negatif cukup parah.

Definisi market crash yang dipakai Barro & Ursua (2017) adalah anjloknya indeks bursa lebih dari 25% secara kumulatif dalam setahun atau lebih parah dari itu yaitu 40% dan 50%. Secara historis data menunjukkan penurunan indeks sampai di bawah 25%, akan menciptakan kontraksi ekonomi mild, negatif 10%, probabilitas kontraksi sebesar 31%. Jika indeks turun sampai di bawah 40%, probabilitas kontraksi parah, di mana pertumbuhan ekonomi jadi negatif lebih rendah dari 15%, mencapai 70%.

Sekadar flash back, bursa Indonesia pernah anjlok sampai negatif 65% pada 1998, dan kita semua tahu seperti apa dampak ikutan ekonomi dan politik setelahnya. Temuan Barro & Ursua (2017) ini menunjukkan pentingnya indeks bursa sebagai leading indicator perekonomian sebuah negara.

Riset Barro & Ursua (2017) ini mengubah belief yang ada di kalangan ekonom dan pengamat pasar modal tentang daya prediksi indeks bursa saham terhadap kondisi makro ekonomi sebuah negara menjadi sebuah fakta ilmiah lengkap dengan data dan metodologi pengujian yang canggih.

Maksudnya, jangan lah sampai meremehkan anjloknya indeks bursa saham. Walaupun katakanlah bursa saham sebuah negara relatif kecil dibandingkan perekonomian secara nasional, tetapi ekspektasi investor dan analisis saham yang bersifat forward looking dan mempertimbangkan semua data indikator makro ekonomi dan pasar finansial secara rasional akan mendudukkan naik-turunnya indeks bursa sebagai leading indicator ekonomi yang robust.

Pernyataan Presiden Prabowo bahwa bursa saham Indonesia relatif kecil dibandingkan ekonomi kita adalah benar karena memang negara kita ini sebuah negara jenis bank-based economy, peran bank amat sangat dominan dibandingkan pasar saham. Data World Bank menunjukkan rasio kapitalisasi bursa saham dibandingkan GDP Indonesia hanya 46,8%, jauh lebih rendah dibandingkan Malaysia 129,5%, India 72,9%, Brasil, 68,2% dan China 83,1%.

Namun, memandang sepele kondisi bursa saham itu sebuah pandangan yang keliru. Barro & Ursua (2017) juga meneliti hal ini yaitu ketika stock market crash yang diikuti juga krisis perbankan dan nilai tukar, probabilitas terjadinya kontraksi ekonomi mencapai 75% dan sangat parah dampak ikutan lainnya, terutama di negara bank-based economy.

Tentu saja sekadar anjloknya IHSG pada satu hari saja sebesar 6% dan kemudian telah terjadi rebound yang lumayan tidak serta merta kita yakini akan terjadi kontraksi ekonomi di Indonesia. BEI belum dapat disebut telah mengalami market crash, setidaknya kalau kita ikuti definisi Barro & Ursua (2017) yaitu negatif 25% lebih.

Namun, gejala ke arah yang tidak kita harapkan di bursa kita cukup lumayan kuat. IHSG telah mengalami penurunan cukup tajam dari posisi 7.905 pada 19 Agustus 2024 menjadi 6.076 pada 18 Maret 2025 sesaat sebelum trading halt diterapkan. Jadi sudah turun 22%, nyaris menyentuh angka limit 25% market crash. Fakta ini harus kita sikapi dengan bijak dan rasional untuk dapat mengantisipasi dan melakukan upaya perbaikan arah ekonomi nasional.

Investor di bursa saham paling menghindari ketidakpastian, terutama economic policy uncertainty. Para peneliti ekonomi keuangan berupaya dengan metodologi yang ketat untuk menguji hubungan antara economic policy uncertainty dengan anjloknya indeks bursa saham. Pertanyaan terbesar adalah bagaimana mengukur secara kuantitatif economic policy uncertainty (EPU)?

Cukup banyak tawaran metodologi untuk mengukur EPU ini. Salah satu yang telah diadopsi secara luas adalah metode yang diajukan oleh Ahir, Bloom, & Furceri (2022) NBER Working Paper. Metode ini yang diadopsi oleh IMF dan diterbitkan setiap tahun dalam rangka besar World Uncertainty Index (WUI). Federal Reserve of St Louis, bank sentral Amerika Serikat, menggunakan metode yang sama mengumumkan ukuran EPU dari hampir semua negara di dunia dalam jangka yang lebih pendek, yaitu per quarter, 4 kali setahun. Repotnya, angka economic policy uncertainty paling akhir yang dapat kita peroleh adalah pada Desember 2024.

Jadi untuk mengukur apakah kebijakan ekonomi di Indonesia pada tiga bulan awal 2025 sebagai prolog jatuhnya indeks pada 18 Maret 2025 belum dapat tecermin pada EPU yang dikeluarkan oleh baik IMF maupun Federal Reserves of St Louis. Skor EPU Indonesia posisi Desember 2024 adalah sebesar 0,22, Malaysia 0,42, South Africa 0,86, India 0,69, dan China 0,060. Policy uncertainty Indonesia lebih rendah dua kali lipat dibanding Malaysia, dan 4 kali lipat dibawah Afrika Selatan.

Uniknya EPU dua raksasa ekonomi dunia sekarang ini yaitu China dan India malah jauh lebih rendah di bawah Indonesia, mungkin karena kompleksitas masalah ekonomi dua negara tersebut yang menghadapi langsung counter tariff dan berbagai kebijakan ekonomi ultra nasionalis dari Presiden Trump dari USA.

Daya prediksi economic policy uncertainty ini terbukti cukup baik dalam mendeteksi abrupt movement di bursa saham yaitu anjloknya indeks sampai sekitar 7%—10%. Riset Tzika dan Panteledis (2024) yang terbit di Quarterly Review Economics and Finance menunjukkan bahwa economic policy uncertainty punya relasi sangat kuat dan mendahului terjadinya penurunan bursa secara cukup mendadak.

Berkaca dengan kondisi Indonesia dalam 3 bulan awal 2025 ini tentu kita dapat mendaftar beberapa fakta yang sangat menggelisahkan investor atas kondisi fiscal Indonesia seperti defisit anggaran yang cukup besar, efisiensi anggaran belanja sampai Rp300 triliun yang pasti akan mendorong jatuh aggregat demand sementara alokasi dana sebesar itu ke Sovereign Wealth Fund Danantara belum jelas ke sektor apa dan akan memberikan dampak sebesar apa ke perekonomian kita. Apalagi diramaikan juga dengan pengungkapan kasus korupsi ratusan trilyun berkali-kali.

Tentu kita berharap yang terbaik atas program ekonomi pemerintah. Bukan karena alasan politis saja, melainkan ini berkaitan dengan nasib ekonomi ratusan juta rakyat Indonesia.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Buddi Wibowo
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper