Bisnis.com, JAKARTA - Bursa Karbon Indonesia resmi meluncur Selasa (26/9/2023). Meski jadi yang pertama di Indonesia, namun keberadaan bursa karbon ini sebenarnya bukanlah yang pertama di kawasan regional Asia Tenggara (Asean).
Sebagai informasi, Bursa Efek Indonesia (BEI) selaku penyelenggara Bursa Karbon, mencatat perdagangan perdana Bursa Karbon Selasa (26/9) ditutup dengan nilai transaksi Rp29,2 miliar.
BEI mencatat perdagangan karbon dengan total volume 459.953 ton unit karbon, yang melampaui total volume perdagangan karbon Bursa Karbon Malaysia.
Kepala Eksekutif Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar memandang optimistis Bursa Karbon Indonesia akan menjadi salah satu bursa karbon terbesar dan terpenting di dunia. Sebab, di Indonesia, volume maupun keragaman unit karbon yang akan diperdagangkan cenderung lebih besar.
"Hari ini kita memulai sejarah dan awal era baru itu," kata Mahendra, Selasa (26/9).
Dia melanjutkan, selain dari subsektor pembangkit tenaga listrik, perdagangan karbon juga akan diramaikan oleh sektor kehutanan, pertanian, limbah, minyak dan gas, industri umum, dan sektor kelautan.
Lantas, bagaimana dengan praktik di negara-negara Asean lain?
Bursa Karbon Malaysia
Malaysia, misal, telah memulai lebih dulu. Melansir dari laman resminya, Bursa Malaysia menyampaikan Bursa Carbon Exchange (BCX) mereka telah berhasil melaksanakan lelang kredit karbon perdana pada 16 Maret 2023 lalu.
Lelang yang dilakukan secara elektronik ini mencatatkan partisipasi 15 pembeli dari berbagai industri yang membeli total 150.000 kredit karbon yang terdaftar di Verra.
Bursa Malaysia menuturkan bahwa terdapat dua produk baru yang ditawarkan oleh BCX, yakni kontrak karbon berbasis teknologi global atau Gloval Technology-Based Carbon Contract (GTC) dan Global Nature-Based Plus Carbon Contract (GNC+).
Kontrak GTC menampilkan kredit karbon dari proyek pemulihan dan pembangkit Biogas Linshu di China. Kontrak GTC ini mendapatkan permintaan lebih banyak dari yang tersedia dan dijual pada harga RM18,50 per kontrak.
Sementara itu, kontrak GNC+ menampilkan kredit karbon dari proyek Southern Cardamom yang merupakan proyek REDD+ dari Kamboja. Kontrak ini mencapai harga kliring sebesar RM68 per kontrak dalam lelang.
Bursa Karbon Singapura
Negara tetangga lainnya, Singapura meluncurkan pasar karbon sukarela atau voluntary cabon market Climate Impact X (CIX) yang diluncurkan 2021. Pasar dan bursa karbon global ini dikembangkan bersama oleh DBS Bank, Singapore Exchange Group, Standart Chartered, dan Temasek.
Melansir Reuters, Pada November tahun lalu, CIX dan Respira menyelesaikan lelang kredit karbon biru sebanyak 250.000 ton unit karbon seharga US$27,8 per ton.
Kredit-kredit tersebut diterbitkan tahun lalu dan dihasilkan dari proyek Delta Blue Carbon Pakistan, yang merupakan proyek restorasi mangrove terbesar di dunia.
Sebagai informasi, salah satu pembeli kredit karbon dari proyek ini adalah perusahaan batu bara asal Indonesia, PT Indika Energy Tbk. (INDY).
Sebelumnya, Head of Corporate Communication Indika Energy Ricky Fernando menuturkan tahun lalu INDY secara sukarela membeli kredit karbon dari proyek Delta Blue Carbon yang merupakan proyek restorasi mangrove terbesar di dunia. Proyek ini melindungi dan memulihkan 350.000 hektar area di Provinsi Sindh, Pakistan.
Bursa Karbon Thailand
Sementara itu, Negeri Gajah Putih juga tercatat telah meluncurkan voluntary carbon credit exchange dengan The Federation of Thai Industries menjadi penyelenggara dari perdagangan karbon tersebut. Pasar karbon ini terdiri dari sekitar 12.000 perusahaan swasta dari 45 sektor di Thailand.
Platform ini memungkinkan perusahaan dan lembaga pemerintah untuk membeli dan menjual kredit karbon, serta melacak emisi mereka. Akan tetapi, belum terdapat data transaksi yang tercatat dari platform ini.