Bisnis.com, JAKARTA - Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro memproyeksikan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berada di bawah Rp 15.000 per dolar AS pada akhir 2023.
Dia memandang pelemahan sementara dalam nilai tukar rupiah saat ini disebabkan oleh tekanan jangka pendek.
“Volatilitas saat ini dipengaruhi oleh faktor-faktor dari negara lain, seperti China, dan juga oleh ekspektasi kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin pada September mendatang, ini yang menyebabkan pressure cukup besar ke rupiah,” ujarnya dalam Media Gathering & Presentasi Outlook Makroekonomi, Selasa (23/8/2023).
Dalam konteks ini, China menghadapi berbagai masalah struktural, seperti penurunan produktivitas, pembatasan ekspor yang diberlakukan oleh AS dan negara lain, serta krisis di sektor real estat yang dipicu oleh kasus Evergrande.
Menurut pria yang kerap disapa Asmo tersebut, pertumbuhan ekonomi China diperkirakan tidak akan melebihi 4 persen tahun ini. Hal ini akan berdampak pada menurunnya permintaan ekspor Indonesia ke China. Situasi ini semakin diperparah oleh ketidakstabilan geopolitik antara China dan Amerika.
“Proyeksi ekonomi China itu berada di kisaran 4 sampai 5 persen bahkan ke arah 4 persen jadi kalau pun China tumbuh di 2026-2027 misalnya di 4 persen nanti ini memang sudah seperti back to normal nya China jadi back to double digit itu akan sangat sulit,” sebutnya.
Baca Juga
Dirinya menambahkan, ketika terjadi ketidakstabilan geopolitik antara AS dan China, China mungkin tidak dapat mengekspor produknya sepenuhnya ke Amerika. Akibatnya, China dapat membanjiri pasar ekspor Indonesia dengan produk-produknya.
Namun, secara keseluruhan, dia menuturkan jika melihat gambaran keseluruhan, pihaknya percaya sebenarnya ada sentimen positif bagi rupiah.
“Arah dolar AS akan berubah dari yang awalnya menguat [stronger] menjadi melemah [weaker] sentiment,” sebutnya.
Dia menambahkan, jika melihat konsensus pasar, perkiraan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS kembali ke kisaran Rp15.000 per dolar AS, bahkan bisa lebih rendah lagi di akhir tahun 2023.
Melihat indikator lainnya, Andry mengungkapkan bahwa Indonesia merespons lebih baik dibandingkan dengan negara sebanding dan negara-negara lain yang memiliki peringkat kredit BBB menurut Lembaga Pemeringkat Standard and Poor's (S&P).
“Kita lihat misal rating yang triple B, Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB) rata-rata 2,43 persen, nah di Indonesia sendiri PDB mencapai 5,03 persen. Overall, Indonesia punya rating lebih baik,” tutupnya.
Sebagai informasi, menurut Tim Office of Chief Economist Bank Mandiri dan Mandiri Sekuritas tingkat inflasi merupakan game changer yang mendukung pertumbuhan dan stabilitas sektor keuangan.
Inflasi semakin terkendali meskipun tantangan El Nino dapat meningkatkan potensi gangguan supply pangan. Hingga bulan Juli, inflasi tercatat sebesar 3,08 persen year-on-year dan telah kembali dalam target Bank Indonesia di kisaran 2 persen sampai 4 persen.
“Nowcasting kami menunjukkan tingkat inflasi Indonesia dapat berada pada retang 3 persen sampai 3,2 persen di akhir tahun 2023 (lebih baik dibandingkan proyeksi awal kami di 3,6 persen) dengan strategi pengelolaan pasokan pangan yang baik,” kata Asmo.
Sementara itu, dari segi neraca perdagangan Indonesia, meskipun terus turun, masih mencatat surplus. Di mana, selama tujuh bulan pertama pada tahun 2023, surplus neraca perdagangan tercatat sebesar US$21,2 miliar, menurun dibandingkan surplus pada periode yang sama tahun lalu sebesar USD29,1 miliar.
Faktor penentunya ada pada perkembangan harga komoditas terutama Batubara dan CPO (Sawit) yang masih jauh di atas periode pre-pandemi. Dengan kinerja neraca perdagangan tersebut, pihaknya perkirakan Neraca TransaksiBerjalan (NTB) atau Current Account Balance akan kembali mencatat defisit 0,65 persen dari PDB pada 2023.
Aliran modal asing kembali masuk ke dalam pasar obligasi Indonesia seiring optimisme fundamental ekonomi Indonesia yang masih sangat baik. Selama semester I tercatat net buy investor asing di pasar obligasi sebesar Rp84 triliun.
“Kami percaya investor asing masih akan kembali banyak masuk ke Indonesia pada kuartal IV ketika suku bunga acuan AS (Fed Fund Rate) telah mencapai puncaknya di September,” ungkapnya.
Saat ini kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) mencapai 15,6 persen dari total, lebih tinggi dibandingkan posisi terendahnya di sekitar 14 persen. Pihaknya, melihat potensi yield SBN akan dapat kembali berada di kisaran 6,1 persen hingga 6,3 persen pada 2023 dengan potensi foreign capital inflows tersebut.