Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Top 5 News Bisnisindonesia.id: dari Kocok Ulang Investasi Bank di Surat Berharga hingga Harga Pangan Kian Porak-poranda

Selama periode pandemi, bank menjadi kelompok investor yang paling banyak membeli SBN. Data per akhir 2021 menunjukkan total kepemilikan bank pada SBN mencapai Rp1.591,12 triliun. Nilai ini setara dengan 34 persen dari total outstanding SBN yang senilai Rp4.678,98 triliun.
Pialang memperhatikan Yield SUN Indonesia/Antara-Prasetyo Utomo
Pialang memperhatikan Yield SUN Indonesia/Antara-Prasetyo Utomo

Bisnis.com, JAKARTA - Selama periode pandemi, bank menjadi kelompok investor yang paling banyak membeli SBN. Data per akhir 2021 menunjukkan total kepemilikan bank pada SBN mencapai Rp1.591,12 triliun. Nilai ini setara dengan 34 persen dari total outstanding SBN yang senilai Rp4.678,98 triliun.

Dengan nilai kepemilikan sebesar itu, menempatkan bank sebagai kelompok investor dengan kepemilikan tertinggi di SBN. Di posisi kedua ada investor asing yang menggenggam sebesar Rp891,34 triliun atau 19,05 persen, tetapi investor asing ini cenderung terus mengurangi kepemilikannya di SBN.

Berita dan analisis Kocok Ulang Investasi Bank di Surat Berharga Negara menjadi salah satu dari lima bahasan utama di laman Bisnisindonesia.id edisi Kamis (7/4/2022).

Berikut ini ringkasan kelima berita dan analisis yang tersaji di laman Bisnisindonesia.id.

1. Kocok Ulang Investasi Bank di Surat Berharga Negara

Kinerja kredit perbankan perlahan mulai membaik seiring dengan pulihnya kondisi ekonomi dan optimisme dunia usaha untuk kembali berekspansi. Kondisi ini tampaknya akan mulai mendorong bank untuk secara perlahan mengalihkan penempatan dananya pada instrumen surat berharga negara (SBN) ke penyaluran kredit.

Jika membedah data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR), Kementerian Keuangan, terlihat bahwa selama ini bank masih menjadi investor utama yang membeli instrumen SBN yang diterbitkan pemerintah.

Selama periode pandemi, bank menjadi kelompok investor yang paling banyak membeli SBN. Data per akhir 2021 menunjukkan total kepemilikan bank pada SBN mencapai Rp1.591,12 triliun. Nilai ini setara dengan 34 persen dari total outstanding SBN yang senilai Rp4.678,98 triliun.

Dengan nilai kepemilikan sebesar itu, menempatkan bank sebagai kelompok investor dengan kepemilikan tertinggi di SBN. Di posisi kedua ada investor asing yang menggenggam sebesar Rp891,34 triliun atau 19,05 persen, tetapi investor asing ini cenderung terus mengurangi kepemilikannya di SBN.

Sebagai pembanding, pada akhir 2019, atau sebelum pandemi, kepemilikan bank pada SBN hanya Rp581,37 triliun atau setara dengan 21,12 persen dari total outstanding SBN saat itu yang sebesar Rp2.752,74 triliun.

Sementara itu, pada saat yang sama kepemilikan investor asing mencapai Rp1.061,86 triliun, setara dengan 38,57 persen dari total outstanding SBN.

2. Pilah Pilih Reksa Dana Potensial 2022

Perkembangan kondisi ekonomi yang ditandai dengan peningkatan inflasi, perbaikan pertumbuhan ekonomi, pelonggaran pembatasan mobilitas, dan ancaman kenaikan suku bunga, menjadikan instrumen reksa dana saham dan pasar uang lebih menjanjikan ketimbang pendapatan tetap.

Industri reksa dana relatif belum begitu bergairah pada awal tahun ini. Total dana kelolaan masih cenderung terus menurun, padahal jumlah investornya masih terus meningkat.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), jumlah dana kelolaan atau nilai aktiva bersih (NAB) reksa dana pada Maret 2022, adalah sebesar Rp568,19 triliun. Jumlah tersebut turun 0,46 persen secara bulanan atau jika dibandingkan dengan Februari 2022 yang sebesar Rp570,83 triliun.

Tren penurunan ini sudah terjadi sejak awal tahun. Meskipun demikian, penurunan secara  bulanan yang terjadi pada Maret 2022 ini sudah lebih rendah dibanding penurunan bulanan pada Februari 2022 lalu yang sebesar 0,66 persen.

Selain itu, NAB atau asset under management (AUM) reksa dana per Maret 2022 ini masih tumbuh 0,4 persen bila dibandingkan dengan posisi Maret 2021, atau secara year-on-year (YoY).

3. Simalakama Pertamina ‘Terjerat’ Bisnis BBM Murah

Bak simalakama, keputusan pemerintah yang 'memaksa' PT Pertamina (Persero) untuk menjual bahan bakar minyak (BBM) jenis Solar dan Pertalite dengan harga murah menjadi kebijakan yang dilematik, terlebih dengan kondisi kenaikan harga minyak dunia.

Di satu sisi, kebijakan tersebut diharapkan mampu menjaga daya beli masyarakat di tengah gejolak harga sejumlah kebutuhan pangan. Di sisi lain, kebijakan ini berisiko menggerus neraca keuangan Pertamina jika tidak diikuti dengan pembayaran dana subsidi maupun biaya kompensasi yang dijanjikan pemerintah.

Dengan kenaikan harga minyak mentah dunia, secara otomatis akan mengerek ongkos produksi BBM di dalam negeri, tak terkecuali untuk Solar dan Pertalite. Apalagi, secara keseluruhan harga minyak berkontribusi hingga 92% terhadap ongkos produksi BBM.

Saat ini, harga minyak mentah dunia sudah berada di atas US$100 per barel, padahal asumsi yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 sebesar US$63 per barel.

4. Lonjakan Konsumsi BBM Menjelang Lebaran Kian Membuncah

Lonjakan permintaan bahan bakar minyak (BBM) terutama jenis Solar dan Pertalite yang diproyeksikan meningkat selama Ramadan dan Lebaran tahun ini mulai menggelisahkan, meskipun PT Pertamina (Persero) memastikan stok ketersediaan baik BBM subsidi maupun nonsubsidi dalam kondisi aman.

Stok ketersediaan BBM Pertamina yang berada di kisaran 19—23 hari dikhawatirkan tidak mampu mencukupi kebutuhan masyarakat dengan segala aktivitasnya yang terus meningkat. Apalagi, dengan makin tingginya disparitas harga BBM subsidi dan nonsubsidi berpotensi meningkatkan konsumsi Solar dan Pertalite.

Mengutip data Pertamina per 3 April 2022, stok BBM Solar subsidi tercatat 22 hari dengan kebutuhan 81.705 kiloliter (KL) per hari, sedangkan Pertalite cukup untuk 16,5 hari dengan kebutuhan 73.338 KL per hari. Sementara itu, stok BBM nonsubsidi seperti Pertamax cukup untuk 37 hari dengan kebutuhan 21.744 KL per hari.

5. Janji Pemerintah Meleset, Harga Pangan Kian Porak-poranda

Memasuki pekan pertama Ramadan, Indonesia masih diberondong persoalan harga komoditas pangan strategis yang diperburuk dengan kondisi keterbatasan pasok serta gangguan distribusi dari sentra-sentra produksi. Sejalan dengan kondisi tersebut, permintaan masyarakat terhadap bahan pokok (bapok) pun terpantau terus melandai.

Menurut catatan Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) Ikappi Reynaldi Sarijowan, perilaku dari pembeli itu mencerminkan kenaikan harga sebagian besar bapok yang tidak kunjung terkendali memasuki Bulan Puasa.  

“Karena fase kenaikan harga sudah terjadi pada 3 hari pertama Ramadan, seperti harga minyak goreng, cabai-cabaian, bawang merah, gula pasir, daging sapi hingga daging ayam broiler terpantul naik,” kata Reynaldi melalui pesan suara, Kamis (7/4/2022).

Berdasarkan catatan Ikappi, sejumlah bapok yang mengalami kenaikan harga di antaranya minyak goreng curah Rp19.500/liter, cabai rawit merah Rp60.000/kg, sementara cabai lainnya di angka Rp50.000/kg. Selanjutnya, harga bawang merah naik signifikan dari Rp33.000/kg menjadi Rp37.000/kg, bawang putih dari Rp30.000/kg menjadi Rp33.500/kg. Di sisi lain, harga daging ayam dari Rp39.000/kg menjadi Rp40.200/kg, sedangkan harga telur dari Rp22.000/kg menjadi Rp25.300/kg.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Fatkhul Maskur
Editor : Fatkhul Maskur
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper