Bisnis.com, JAKARTA - Tanri Abeng, Menteri Negara Pendayagunaan BUMN pada Kabinet Pembangunan VII dan Kabinet Reformasi Pembangunan, mengatakan reformasi BUMN yang dilakukan harus berkesinambungan dan tidak terputus-putus.
Saat ini mungkin saja, kata Tanri, dilakukan reformasi BUMN gelombang ketiga, setelah dua reformasi yang dilakukannya di periode 1998 dan akhir 1999. Hal itu diungkapkannya dalam webinar bertajuk Transformasi BUMN di Tengah Tantangan Ketidakpastian Ekonomi 2022, yang diselenggarakan Bisnis Indonesia, Selasa (21/12/21).
“Saat ini kan juga krisis sama seperti 98. Krisis akibat pandemi. Krisis karena BUMN banyak yang terlilit utang, merugi dan tidak menguntungkan. Jadi memang saat krisis, keputusan cepat, penuh perhitungan dan matang akan bisa diambil, itu seninya,” kata Tanri.
Jika melihat kondisi BUMN saat ini, Tanri merasa memang ada masalah dalam pengelolaannya dan visi jangka panjangnya. Dia melihat, saat ini saja, menteri BUMN sudah berganti selama sembilan kali.
Seringkali, pergantian menteri pun diikuti pergantian direksi dan komisaris sehingga tidak ada grand design, mau seperti apa BUMN ini ke depannya.
“Alhasil, efeknya ini pada BUMN. Saya melihat sejak 2016 sebenarnya kualitas dan profitabilitas BUMN sudah menurun. ROA dari 2016 itu masih kisaran 3-4 persen itu bagus, lalu tahun 2020 jadi 0,4 persen. Ini jadi masalah dan inefisiensi. Oke ada Covid-19, tapi jika diurus dengan baik tidak akan anjlok seperti itu,” kata Tanri.
Baca Juga
Tanri meminta restrukturisasi jangan dilakukan sepenggal-penggal. Dia melihat, jika memang langkah pembentukan holding sudah diambil dengan memilih BUMN yang menguntungkan atau profit, itu harus dijaga dan digenjot profitabilitasnya. Namun, dia mengingatkan agar pemerintah jangan mencampurkannya dengan kepentingan politis.
“Sementara untuk restrukturisasi BUMN yang sudah cukup berat seperti KS atau Garuda, jangan hanya dilihat persoalan utangnya. Tapi juga kapital dan equity-nya. Lanjutkan dengan manajemen dan bisnisnya, baru terakhir utang. Kuncinya, ada di top management,” kata Tanri.
Hal serupa pernah dilakukan Tanri pada 1998 dengan memulihkan kembali Garuda Indonesia yang sudah tersungkur karena merugi selama tujuh tahun dan terjerat utang US$1,6 miliar. Menurutnya, di tangan dirut dan komut yang benar, hanya dalam waktu 1 tahun Garuda bisa kembali pulih.
Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, pengamat BUMN dari UI, Toto Pranoto juga mengatakan tidak perlu ada banyak BUMN alias cukup sedikit, ramping tetapi lincah. Menurut Toto, BUMN yang sudah ada bisa digabungkan atau merger dalam holding atau justru dilikuidasi.
“Perlu BUMN kontributor, produk dan jasanya masih dibutuhkan publik. Punya nilai jual dan mampu bersaing dengan kompetitor. Jika memang produk dan jasanya sudah tidak diperlukan publik atau kalah dengan kompetitor dari segi kualitas dan harga, ya likuidasi saja,” jelasnya.
Pemerintah, kata Toto perlu mengikuti langkah China dalam mengelola BUMN, yakni melakukan pemetaan dan aglomerasi BUMN. Jadi, negara hanya perlu mengurus BUMN strategis yang besar dan terkoneksi.
“Bicara soal holding company, ini oke. Itu sudah bukan hal baru, sejak era Pak Tanri sudah digaungkan. Persoalannya, next-nya apa setelah dibentuk holding? Ini harus dipikirkan. Postmerger integration kuncinya,” kata Toto.