Bisnis.com, JAKARTA - Saham perusahaan tercatat yang tidak mengedepankan faktor ESG (Environment, Social, and Governance) diperkirakan bakal semakin ditinggalkan oleh investor institusi baik lokal maupun asing.
Head of Asean and Indonesia Research Citigroup Sekuritas Ferry Wong menjelaskan saat ini faktorisasi ESG sudah digunakan oleh 50 persen investor institusi asing di Indonesia. Sementara itu, investor institusi lokal yang sudah mempertimbangkan faktor ESG disebut sudah mencapai 30 persen - 40 persen.
“Sekarang dampaknya lebih dari sisi investor asing, mereka lebih sulit berinvestasi ke saham tersebut [skor ESG rendah],” kata Ferry pekan lalu.
Adapun, faktor ESG telah menjadi pertimbangan investasi karena hal itu mendukung keberlanjutan perusahaan dan pendanaan (sustainability financing).
Ferry mengatakan tren investasi ESG kian marak sekitar 7-8 tahun terakhir yang terlihat dari mulai banyak riset mengenai investasi ESG. Dengan demikian, investor institusi diperkirakan semakin banyak yang tidak lagi melihat valuasi suatu saham namun akan mempertimbangkan faktor ESG emiten sebelum memutuskan untuk membeli sahamnya.
“Kalau perusahaan tidak menerapkan prinsip ESG, sudah pasti akan ditinggalkan. Saham mereka akan menjadi tidak likuid dan kalau tidak likuid maka tidak naik,” ujar Ferry.
Baca Juga
Adapun, investasi ESG di Indonesia disebut Ferry saat ini memang masih sedikit namun dalam tren yang bertumbuh mengikuti perkembangan global.
Dia menyebut beberapa perusahaan yang tidak sesuai dengan prinsip ESG seperti perusahaan rokok, minuman beralkohol, batu bara, hingga CPO akan lebih sulit dalam menarik investor asing di masa depan.
“Mereka [investor] tidak bisa membeli saham perusahaan tersebut kecuali scoring ESG-nya bagus,” tutur Ferry.
Adapun, Citigroup Sekuritas menganalisis beberapa perusahaan yang sudah memiliki skor ESG yang baik, seperti perbankan besar, ASII, BRPT, dan TLKM untuk dapat dicermati.