Bisnis.com, JAKARTA – Saham PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) berpotensi melaju hingga Rp9.000 setelah melaksanakan stock split.
Analis Panin Sekuritas William Hartanto mengatakan saham BBCA masih berpotensi melaju hingga Rp9.000 per saham. Adapun pada akhir perdagangan Rabu (13/10/2021) saham bank swasta itu ditutup menguat 2,73 persen ke Rp7.525 dengan kapitalisasi pasar Rp930 triliun.
“Stock split hanya memecah nilai tapi tidak mengubah tren sebelum pemecahan, karena BBCA sebelumnya sudah dalam posisi uptrend maka diperkirakan masih akan naik terus setelah split,” katanya kepada Bisnis, Rabu (13/10/2021).
William menambahkan penguatan BBCA akan terus mendorong penguatan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Namun dia mengingatkan akan ada koreksi karena indeks telah menguat signifikan.
“Berpotensi koreksi sehat dengan estimasi level terendah di 6.388. Melemah hanya karena faktor profit taking aja. Tetapi masih bisa mendorong IHSG,” imbuhnya.
Selain BBCA, William merekomendasikan saham-saham bluechip lain. Diantaranya adalah PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. (BBTN), PT Jasa Marga (Persero) Tbk. (JSMR), PT Bank Mandiri Tbk. (BMRI), dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI).
Baca Juga
Sampai dengan akhir tahun, lanjutnya, target harga BBTN berpotensi ke Rp1.800, JSMR Rp4.400, BMRI Rp7.600, dan BBRI Rp4.500.
William menambahkan para investor dapat mulai membeli ketika suatu saham tengah terkoreksi. Akan tetapi, investor diharapkan dapat memperhatikan indicator MA periode 20 sebelum melakukan aksi beli.
“Investor bisa menggunakan indikator MA periode 20, jadi kalau saham tersebut sedang pull back tapi masih di atas MA20 investor bisa buy on weakness,” katanya kepada Bisnis pada Rabu (13/10/2021).
Indikator MA atau moving average adalah pergerakan rata-rata dari sebuah saham dalam waktu rentang tertentu. Sementara 20 menunjukkan rentang waktu tersebut yakni 20 hari kebelakang. Sehingga investor diharapkan mencermati pergerakan saham tertentu dalam 20 hari kebelakang sebelum membeli.
Selain 20, investor juga dapat mencermati rentang waktu yang lazim dipakai untuk menganalisis. Misalnyal 5 hari, 20 hari, 60 hari, atau 120 hari. William pun mengingatkan agar investor jangan diburu nafsu ketika ingin mengolek saham teretntu.
“Chart naik tapi jangan sembarangan beli untuk menghindari ‘nyangkut’,” pungkasnya.