Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) mulai aktif menarik fasilitas kredit dari perbankan pada paruh kedua tahun ini untuk membiayai aneka kebutuhannya. Hal ini menjadi salah satu sinyal yang menunjukkan adanya peningkatan optimisme pelaku usaha terhadap prospek pemulihan ekonomi.
Pertimbangan pendanaan bank oleh emiten bisa jadi karena perusahaan sudah memiliki fasilitas pinjaman yang belum digunakan atau undisbursed loan.
Sementara itu, bagi perusahaan tercatat yang belum memiliki peringkat utang atau emiten dengan ukuran kapitalisasi pasar menengah hingga kecil cenderung akan memilih pendanaan bank karena biaya (cost of fund) atau suku bunga yang dibayarkan lebih rendah.
Makin gencarnya emiten menarik fasilitas kredit dari perbankan, menjadi salah satu berita pilihan Bisnisindonesia.id.
Selain berita tersebut, beragam kabar ekonomi dan bisnis yang dikemas secara mendalam dan analitik juga tersaji dari meja redaksi Bisnisindonesia.id.
Berikut intisari dari top 5 News Bisnisindonesia.id yang menjadi pilihan editor, Rabu (22/9/2021):
Ekstensifikasi Cukai, Pangkal Badai Industri Ritel 2022
Pelaku industri ritel modern dan pusat perbelanjaan mulai ketar-ketir dengan rencana pengenaan cukai terhadap minuman bergula dalam kemasan atau MBDK, plastik, dan peralatan makan-minum sekali pakai pada 2022.
Pada saat sektor tersebut baru saja mendapat ruang bernapas untuk kembali bertumbuh pascapelonggaran Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), potensi tekanan bisnis kembali menganga tahun depan akibat adanya rencana perluasan basis cukai tersebut.
Omzet industri ritel modern diproyeksikan anjlok 40% jika pemerintah menerapkan cukai terhadap minuman bergula dalam kemasan atau MBDK, plastik, dan peralatan makan-minum sekali pakai pada 2022. Sejalan dengan itu, penerimaan pajak dari sektor ritel pun berisiko menyusut.
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus mengatakan rencana ekstensifikasi cukai itu telak bakal mengakibatkan produk terkait menjadi lebih mahal di tengah tingkat konsumen, padahal kondisi perekonomian belum kembali normal.
Tertekan Saham Blue Chip, Prospek ETF Masih Cerah di Akhir Tahun
Prospek kinerja instrumen reksa dana yang dapat diperdagangkan atau exchange traded funds (ETF) cukup menjanjikan hingga akhir tahun ini, terutama di tengah peluang pemulihan ekonomi yang terus membaik dan kejelasan isu tapering the Fed.
Produk ETF mengalami peningkatan nilai aktiva bersih (NAB) atau asset under management (AUM) pada Agustus 2021, walaupun belum bisa melewati NAB tertinggi sepanjang tahun ini yang terjadi pada Februari 2021.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan, NAB atau juga disebut sebagai dana kelolaan reksa dana ETF per akhir Agustus 2021 tercatat sebesar Rp14,89 triliun. Nilai ini setara dengan 2,74% dari total NAB seluruh industri reksa dana.
Produk ETF dalam 5 tahun terakhir telah mengalami pertumbuhan yang pesat dari Rp5,47 triliun per Agustus 2016 menjadi Rp14,89 triliun per Agustus 2021, yaitu tumbuh 171,91%.
Kendati demikian, capaian tertinggi NAB produk reksa dana ETF sepanjang tahun terjadi pada Februari 2021 yaitu sebanyak Rp15,32 triliun. Setelah itu, dana kelolaan produk ETF mengalami penurunan secara bulanan dan baru mulai kembali naik pada Agustus 2021.
Emiten Mulai Gencar Berburu Kredit Bank
Perusahaan tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) mulai banyak mendapatkan likuiditas dari perbankan pada akhir kuartal III/2021. Pilihan meraih pinjaman maupun mencairkan fasilitas kredit dari bank seiring dengan optimisme pemulihan ekonomi.
Emiten menara PT Sarana Menara Nusantara Tbk., misalnya, mendapatkan pinjaman dari sejumlah bank melalui dua entitas anaknya, yaitu PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo) dan PT Iforte Solusi Infotek (Iforte) senilai total Rp14 triliun.
Selain TOWR, beberapa emiten lain yang juga mendapatkan pendanaan dari perbankan antara lain PT Solusi Sinergi Digital Tbk. (WIFI) mendapat kredit dari Bank BNI senilai Rp256,5 miliar, serta PT Galva Technologies Tbk. (GLVA) senilai US$10 juta dan Rp160 miliar dari Bank BCA.
Selain itu, terdapat anak usaha dari PT Nusantara Infrastructure Tbk. (META) mendapat Rp750 miliar dari Bank BCA, anak usaha PT Delta Dunia Makmur Tbk. (DOID) senilai US$450 juta dari Bank Mandiri, dan anak usaha PT Intiland Development Tbk. (DILD) senilai Rp75 miliar dari Bank MNC.
Sementara itu, dari kalangan BUMN, PT Waskita Karya (Persero) Tbk. (WSKT) juga baru saja merampungkan negosiasi dengan 21 bank untuk proses restrukturisasi utang besar-besaran. Total fasilitas kredit yang direstrukturisasi mencapai Rp29,2 triliun.
Teka-teki Rezim CPO Tanpa Moratorium Sawit
Setelah berakhir pada 19 September 2021, moratorium perluasan lahan kelapa sawit tak kunjung mendapatkan kejelasan perpanjangan. Ketiadaan ekstensi kebijakan tersebut pun dikhawatirkan memengaruhi harga dan ekspor crude palm oil (CPO).
Penyebabnya, harga minyak sawit mentah diramal turun jika moratorium sawit tidak diperpanjang. Untuk itu, pemerintah juga disarankan melanjutkan kebijakan tersebut demi meminimalisir reaksi negatif pasar.
Selama tiga tahun berlakunya Instruksi Presiden (Inpres) 8/2018 yang mengatur perihal moratorium tersebut, penghentian pemberian izin baru untuk konsesi kelapa sawit dinilainya telah membuat produksi minyak sawit stabill.
Sebagai eksportir minyak sawit terbesar di dunia, izin pembukaan perkebunan yang kembali diberikan bisa menjadi sinyal bahwa Indonesia siap menggelontorkan lebih banyak minyak nabati ke pasar.
Asa BI dan OJK Kejar Target Kredit Perbankan di Sisa Tahun
Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia masih optimistis kredit perbankan dapat tumbuh minimal 4% hingga akhir tahun ini, meskipun hingga Agustus 2021 kinerja pertumbuhan kredit masih relatif terbatas dengan tingkat pertumbuhan 1,16% year-on-year (YoY).
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan bahwa meski mampu melanjutkan pertumbuhan positif, fungsi intermediasi perbankan masih perlu ditingkatkan.
Adapun, Bank Indonesia memang kerap kali lebih dahulu mengumumkan kinerja industri perbankan dalam RDG yang digelarnya. Data lebih rinci terkait dengan kinerja industri perbankan biasanya akan dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) beberapa bulan setelahnya.
Jika mengacu pada data yang telah disampaikan OJK, pertumbuhan kredit per Juli 2021 mencapai 0,50% YoY dengan nilai outstanding sebesar Rp5.563,7 triliun. Dengan demikian, jika mengacu pada pengumuman Bank Indonesia, kinerja kredit pada Agustus 2021 menunjukkan peningkatan yang cukup besar.