Bisnis.com, JAKARTA - Perusahaan tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) mulai banyak mendapatkan likuiditas dari perbankan pada akhir kuartal III/2021. Pilihan meraih pinjaman maupun mencairkan fasilitas kredit dari bank seiring dengan optimisme pemulihan ekonomi.
Kepala Riset Praus Capital Alfred Nainggolan menjelaskan pertimbangan pendanaan bank oleh emiten bisa jadi karena perseroan sudah memiliki fasilitas pinjaman (undisbursed loan) yang belum digunakan.
“Sehingga ketika perusahaan sudah melihat adanya pemulihan ekonomi, mereka mulai berani memanfaatkan fasilitas tersebut,” kata Alfred kepada Bisnis, Selasa (21/9/2021).
Adapun, dampak penarikan fasilitas kredit disebut Alfred sudah pasti akan memunculkan biaya atau bunga atas utang tersebut. Dengan demikian, emiten harus mempertimbangkan kondisi solvabilitas ketika melakukan pendanaan utang.
Hal itu dilihat baik dari sisi struktur pendanaan (utang vs. modal) dan kemampuan untuk melakukan pembayaran (bunga dan pokok).
Alfred mengingatkan emiten perlu melihat space leverage yang dimiliki dengan membandingkan ke ekuitas. Apabila perseroan masih memiliki ruang yang besar, tentu pendanaan utang bisa dilakukan terlebih pendanaan ini memiliki tax shield dibandingkan pendanaan ekuitas.
Baca Juga
“Terkait dengan kemampuan membayar, emiten harus memastikan tujuan penggunaan dana utang tersebut match baik dari sisi waktu (maturity) dan juga return yang dihasilkan,” jelas Alfred.
Lebih lanjut, Alfred menjelaskan berdasarkan packing order theory disebutkan tingkat prioritas pendanaan perusahaan adalah retained earning (sumber internal), utang (debt), dan terakhir ekuitas (penerbitan saham).
Khusus untuk pendanaan utang, prioritas pilihan utama berasal dari utang dagang diikuti kredit bank dan surat utang (obligasi).
Untuk pilihan antara pinjaman ke bank atau menerbitkan surat utang, lanjut Alfred, tentunya akan sangat bergantung pada kondisi profil perusahaan dan kondisi pasar surat utang saat itu.
Bagi perusahaan tercatat yang belum memiliki peringkat utang atau emiten dengan ukuran kapitalisasi pasar menengah hingga kecil cenderung akan memilih pendanaan bank karena biaya (cost of fund) atau suku bunga yang dibayarkan lebih rendah.
“Bagi emiten kategori ini, tentu akan lebih mudah mendapatkan dana pinjaman dari perbankan ketimbang penerbitan surat utang (MTN atau obligasi) karena pada kondisi saat ini pasar surat utang sedang dibanjiri surat utang negara,” ujar Alfred.
Apabila emiten medium-small cap memaksakan untuk menerbitkan surat utang, kata Alfred, tentunya perseroan harus menawarkan dengan kupon yang tinggi. Lagipula, pendanaan dari perbankan juga memiliki tenor yang lebih panjang hingga 7 tahun dibandingkan surat utang konvensional yang umumnya lebih pendek 3-5 tahun.
Adapun, beberapa emiten yang mendapatkan pendanaan dari bank a.l. PT Solusi Sinergi Digital Tbk. (WIFI) mendapat kredit dari Bank BNI senilai Rp256,5 miliar, PT Galva Technologies Tbk. (GLVA) senilai US$10 juta dan Rp160 miliar dari Bank BCA.
Selain itu terdapat anak usaha dari PT Nusantara Infrastructure Tbk. (META) mendapat Rp750 miliar dari Bank BCA, anak usaha PT Delta Dunia Makmur Tbk. (DOID) senilai US$450 jta dari Bank Mandiri, dan anak usaha PT Intiland Development Tbk. (DILD) senilai Rp75 miliar dari Bank MNC.