Bisnis.com, JAKARTA – Gotong Royong BUMN jadi bagian dari upaya penyelamatan maskapai PT Garuda Indonesia Tbk. (GIAA) dari dampak pandemi Covid-19.
Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Garuda Indonesia Prasetio mengungkapkan pemerintah sudah memberikan dukungan penuh dalam rangka penyelamatan perseroan dari ambang kepailitan akibat pandemi corona.
"Pemerintah memberikan dukungan kepada perseroan dengan dibentuknya tim task force atau satuan tugas khusus oleh Kementerian BUMN bahwa Garuda Indonesia akan dilakukan restrukturisasi total keuangan dan bisnis Garuda ke depan 2022 hingga 2026," jelasnya dalam paparan publik, Kamis (19/8/2021).
Sejumlah perusahaan BUMN pun gotong royong membantu meringankan beban maskapai flag carrier tersebut.
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) memberikan suntikan dana melalui program ekspor national interest account (NIA) pada 6 Oktober 2020 sebesar Rp1 triliun dengan tenor 12 bulan.
Dananya digunakan untuk pembayaran kepada lessor dengan tujuan penurunan biaya sewa atau manfaat lainnya, pencabutan grounding notice pesawat dan pembiayaan direct cost termasuk maintenance cost atas biaya operasional pesawat.
Baca Juga
Seakan tak mau kalah, BUMN terkait penerbangan macam pengelola bandara PT Angkasa Pura I (Persero) dan PT Angkasa Pura II (Persero) serta Perum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (LPPNPI) alias Airnav juga memberikan relaksasi.
Pada 31 Desember 2021 GIAA menandatangani perjanjian restrukturisasi utang dengan AP I dan AP II, sementara pada 29 Januari 2021, GIAA tanda tangan restrukturisasi utang dengan Airnav.
Restrukturisasi utang dengan BUMN terkait penerbangan ini diberikan dengan skema pembayaran 1 persen dari utang sebelum akhir tahun 2021, 5 persen dibayarkan sebelum akhir tahun 2022, dan 94 persen dibayar sebelum akhir tahun 2023.
GIAA juga mendapatkan relaksasi utang dari PT Pertamina (Persero) yang ditandatangani pada 30 Desember 2020. Restrukturisasi ini menggunakan skema pembayaran 5 persen dari utang maksimal akhir tahun 2021, 10 persen dari utang sebelum akhir 2022, dan 85 persen dari utang sebelum akhir 2023.
Total restrukturisasi utang dari 4 BUMN tersebut mencakup periode 2020 sebesar US$82,5 juta dan periode 2021 sebesar Rp244 miliar.
Di sisi lain, Pemerintah memberikan dukungan pula melalui penerbitan obligasi wajib konversi (OWK) yang dicairkan melalui PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) sebesar Rp1 triliun pada Februari 2021 dengan tenor 3 tahun.
Dana yang dicairkan sudah digunakan seluruhnya memenuhi kewajiban tagihan bahan bakar pesawat sesuai dengan tujuan penggunaan dana yang ditetapkan. Adapun, sisa nilai pokok obligasi dari total Rp8,5 triliun tidak dapat dicairkan lebih lanjut akibat target kinerja yang tidak tercapai.
"Pemerintah juga memberikan relaksasi pajak maupun lessor, dan bank anggota Himbara pun sudah memberikan restrukturisasi terhadap utang Garuda," katanya.
Analis Senior CSA Research Institute Reza Priyambada mengungkapkan secara industri meski masih ada sejumlah masyarakat yang melakukan perjalanan dengan menggunakan pesawat, tampaknya tidak sebanyak sebelum pandemi. Hal ini tentunya membuat jumlah penumpang pesawat mengalami penurunan.
Jumlah penumpang yang melalui darat saja sudah mengalami penurunan, apalagi transportasi udara tentu akan mengalami hal serupa. GIAA pun turut mengalami kejadian yang tidak mengenakan ini sehingga berimbas pada penurunan kinerja GIAA sepanjang 2020.
"Tantangannya adalah dari upaya keras manajemen untuk dapat bertahan melalui semua halangan ini. Kalaupun, mau diutak-atik maka paling mungkin mengutak-atik dari sisi beban perseroan," urainya.
Itu pun memiliki implikasi yang berat. Misalkan, mengurangi beban BBM maka yang dilakukan ialah mengurangi frekuensi penerbangan terutama rute-rute yang kurang memberikan keuntungan maksimal.
Termasuk mengurangi beban pegawai dengan melakukan pengurangan pegawai yang juga sudah dilakukan. Tentunya ini akan memberikan dampak negatif secara psikologis terhadap pegawai yang terkena pemberhentian maupun penawaran pensiun dini.
"Maka dari itu, dari sisi pendapatan yang harusnya dapat ditingkatkan. Bantuan pemerintah untuk meningkatkan pariwisata dan kerjasama dengan destinasi luar negeri dimana GIAA bisa ikut ambil bagian dari lalu lintas tersebut diharapkan dapat membantu GIAA dapat kembali meningkatkan pendapatannya," urainya.
Sayangnya, tekanan terhadap GIAA masih dapat terlihat dalam laporan keuangan per 31 Maret 2021 yang dikutip Bisnis.com. Garuda Indonesia mencetak pendapatan US$353,07 juta turun 54,03 persen dari pendapatan kuartal I/2020 sebesar US$768,12 juta.
Pendapatan dari penerbangan berjadwal menurun menjadi US$278,22 juta dari US$654,52 juta. Sementara, pendapatan dari penerbangan tidak berjadwal naik menjadi US$22,78 juta dari US$5,31 juta. Pendapatan usaha lainnya juga menurun menjadi US$52,06 juta dari US$108,27 juta.
Adapun, beban usaha perseroan menurun tetapi tetap di atas kinerja pendapatan perseroan. Beban usaha per kuartal I/2021 sebesar US$702.17 juta sementara pada kuartal I/2020 sebesar US$945,7 juta.
Walhasil, perseroan mencetak rugi usaha sebesar US$287,09 juta per 3 bulan tahun ini dari posisi laba usaha US$616.040 per 3 bulan awal tahun lalu.
Dengan demikian, rugi yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk membengkak menjadi US$384,34 juta dari posisi US$120,16 juta per kuartal pertama tahun lalu.