Bisnis.com, JAKARTA – Selisih imbal hasil (yield) antara surat berharga negara (SBN) dengan obligasi korporasi mulai menunjukkan penurunan pada tenor-tenor pendek.
Berdasarkan data PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) pada Senin (12/7/2021), hingga awal Juli 2021, secara rata-rata yield obligasi korporasi berperingkat AAA dengan tenor pendek mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2020 lalu.
Tercatat, spread imbal hasil obligasi korporasi dengan rating AAA bertenor 1 tahun menyentuh 112 basis poin. Catatan ini lebih rendah dibandingkan dengan selisih pada 2020 lalu di level 196 basis poin.
Kemudian, spread tenor lainnya berturut-turut adalah 117 basis poin untuk tenor 3 tahun, 118 basis poin untuk tenor 5 tahun, dan 123 poin untuk tenor 10 tahun.
Direktur Utama Pefindo Salyadi Saputra pada pekan lalu menyebutkan, yield obligasi korporasi berperingkat AAA di awal 2021 cenderung turun untuk tenor jangka pendek. Di sisi lain spread imbal hasil tenor 10 tahun mengalami kenaikan seiring dengan kenaikan yield obligasi pemerintah.
“Secara rata rata, spread yield obligasi korporasi berperingkat AAA cenderung lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya,” katanya.
Baca Juga
Salyadi melanjutkan, penerbitan surat utang korporasi sepanjang semester I/2021 juga didominasi oleh tenor pendek – menengah.
“Tenor 1, 3, dan 5 tahun hampir mencakup 91 persen dari nilai emisi obligasi korporasi pada paruh pertama tahun ini,” katanya dalam diskusi daring Pefindo, Kamis (8/7/2021).
Berdasarkan data Pefindo, tenor 1 tahun mencakup 34 persen dari penerbitan pada semester I/2021. Jumlah tersebut naik dibandingkan dengan catatan pada semester I/2020 sebesar 28,2 persen.
Sementara itu, tenor 3 tahun juga mengalami kenaikan dari 37,7 persen dari total emisi menjadi 41,1 persen pada paruh pertama tahun 2021. Sementara itu, obligasi bertenor 5 tahun mengalami penurunan dari 18 persen menjadi 15,7 persen.
Salyadi memaparkan, tren penerbitan obligasi bertenor pendek – menengah ini disebabkan oleh tingginya ketidakpastian di pasar. Hal ini membuat investor lebih cenderung memikirkan prospek investasi dalam jangka pendek.
“Karena kalau mereka kunci investasinya di instrumen jangka panjang, akan sulit keluarnya di tengah volatilitas pasar,” jelasnya.