Bisnis.com, JAKARTA - Emiten pertambangan batu bara, PT Indika Energy Tbk., semakin getol melakukan diversifikasi portofolio bisnis. Namun, dampak diversifikasi terhadap kinerja profitabilitas perseroan dinilai masih membutuhkan waktu.
Terbaru, emiten berkode saham INDY itu menggandeng mitra strategis asal India, Fourth Partner Energy, membentuk perusahaan patungan untuk menggarap bisnis panel surya, dengan nama PT Empat Mitra Indika Tenaga Surya atau EMITS.
Perusahaan patungan itu akan menggelontorkan investasi hingga US$500 juta untuk periode 2021 hingga 2025, dengan proyek pertama akan fokus kepada aset-aset yang saat ini dimiliki oleh Indika Energy Group. Dengan estimasi kurs Rp14.000 per dolar AS, nilai investasi itu setara dengan Rp7 triliun.
Head of Investment Reswara Gian Investa Kiswoyo Adie Joe mengatakan bahwa INDY merupakan salah satu emiten batu bara dengan portofolio bisnis paling beragam, mulai dari hulu hingga hilir.
Dia menilai upaya INDY untuk merambah bisnis energi baru terbarukan (EBT) patut diapresiasi, mengingat tantangan sektor batu bara semakin sulit dalam jangka panjang seiring dengan prospek energi bersih yang semakin cerah.
Namun, dampak diversifikasi ini dalam jangka pendek diyakini belum akan terlihat, sehingga diperlukan waktu untuk mencermati seberapa besar dan efektif pilihan bisnis itu untuk membantu kinerja INDY secara keseluruhan
Baca Juga
“Masih butuh waktu untuk lihat pengaruhnya. Kasih kesempatan bagi manajemen INDY untuk membenahi bisnis dan membuktikan hasil diversifikasi hingga akhirnya mengurangi ketergantungan perseroan terhadap sektor batu bara,” ujar Kiswoyo kepada Bisnis, Senin (8/3/2021).
Oleh karena itu, dia merekomendasikan beli saham INDY untuk tujuan investasi dalam jangka panjang. Kendati demikian, jika dampak dari berbagai upaya diversifikasi INDY berhasil tercermin dalam kinerja tahun depan, maka INDY akan menjadi sangat menarik untuk diakumulasi.
Secara terpisah, analis Kiwoom Sekuritas Indonesia Sukarno Alatas mengatakan, INDY mendapatkan peluang memperbaiki kinerja dalam jangka panjang didukung masuknya perseroan ke bisnis panel surya seiring dengan prospek penggunaan EBT yang semakin cerah.
Dia menilai profitabilitas INDY yang lemah saat ini cukup wajar seiring dengan melemahnya permintaan batu bara dan dampak pandemi Covid-19. Selain itu, profitabilitas yang rendah juga diperparah dengan rasio utang INDY yang tergolong tinggi sehingga menjadi beban bagi perseroan.
“Namun, jika menambah utang untuk melakukan ekspansi saya rasa tidak menjadi masalah bagi INDY meskipun rasionya tinggi. Karena, dengan prospek jangka panjang yang baik didukung diversifikasi bisnis EBT itu diharapkan dapat mengurangi rasio utang sehingga rasio profitabilitas akan kembali naik,” papar Sukarno kepada Bisnis, Senin (8/3/2021).
Sebagai gambaran, INDY membukukan pendapatan sebesar US$1,53 miliar hingga kuartal III/2020, turun 26 persen secara year on year (yoy) dibandingkan dengan pendapatan kuartal III/2019 sebesar US$2,07 miliar.
Selain itu, INDY membukukan rugi periode berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar US$52,5 juta. Jumlah itu membengkak dari perolehan periode yang sama tahun lalu yaitu rugi US$8,61 juta.
Di lantai bursa, pada perdagangan Senin (8/3/2021) INDY parkir di level Rp1.420, terkoreksi 3,07 persen. Kapitalisasi pasar INDY berada di posisi Rp7,4 triliun.
Berdasarkan konsensus Bloomberg, sebanyak 2 dari 3 analis yang mengulas INDY merekomendasikan beli, sedangkan sisanya merekomendasikan hold. Adapun, target harga INDY dalam 12 bulan ke depan berada di posisi Rp1.655 per saham. Harga itu mencerminkan potensi kenaikan 16,5 persen daripada posisi harga INDY saat ini.