Bisnis.com, JAKARTA - November diyakini akan menjadi bulan yang buruk bagi pergerakan nilai tukar pound sterling. Selain dibayangi tenggat waktu kesepakatan Brexit, Pemilu AS juga akan menjadi tekanan bagi nilai tukar Negeri Ratu Elizabeth itu.
Untuk diketahui, pound sterling telah diombang-ambing oleh sentimen keluarnya Inggris dari Uni Eropa selama empat tahun terakhir, atau yang disebut Brexit. Kabar terbaru, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson menegaskan bahwa pihaknya siap keluar dari Benua Biru tanpa kesepakatan dagang apapun.
Hal itu sebagai buntut dari negosiasi kesepakatan pasca-Brexit yang begitu alot antara kedua pihak.
Ahli Strategi Valuta Asing MUFG Bank Lee Hardman mengatakan bahwa sebagian besar trader tidak begitu menilai negatif pernyataan Boris Johnson dan menganggap komentar itu sebagai sikap politik Inggris.
Dia pun menilai sesungguhnya trader pound sterling sudah terbiasa menyaring sentimen kebisingan politik Brexit, setelah mengalami negosiasi bertahun-tahun yang tidak membuahkan hasil dan melihat tenggat waktu Brexit datang dan pergi.
Namun, kepastian ini menjadi bertambah tingkat kepentingannya karena ekonomi Inggris dalam tekanan besar akibat penyebaran Covid-19.
Baca Juga
Hardman menilai prospek ekonomi Inggris semakin gelap menjelang akhir tahun. Dia menjelaskan, angka pengangguran Inggris telah naik ke posisi tertinggi setelah penyebaran Covid-19 menyebabkan resesi terburuk dalam lebih dari satu abad.
Adapun, Moody's Investors Service juga telah memangkas peringkat Inggris menjadi Aa3 dari Aa2 dan merevisi prospek menjadi stabil dari sebelumnya negatif.
Oleh karena itu, prospek itu telah memberikan sinyal yang cukup kuat untuk dapat mendorong Bank of England memberikan lebih banyak stimulus pada bulan depan.
“Ini merekomendasikan posisi taktis jual pada pound sterling versus dolar AS mengingat meningkatnya risiko Brexit dan lonjakan kasus virus,” ujar Hardman seperti dikutip dari Bloomberg, Minggu (18/10/2020).
Sementara itu, Kepala Strategi Mata Uang RBC Eropa Adam Cole mengatakan bahwa dua bulan adalah waktu minimum yang mutlak diperlukan untuk membuat undang-undang untuk kesepakatan Brexit.
“Dengan demikian, awal November adalah tenggat waktu Brexit yang tepat. Jika jelas pada saat itu Inggris menuju Brexit tanpa kesepakatan pound sterling memiliki sekitar 5 persen sisi negatifnya,” papar Cole.
Di sisi lain, Analis Danske Bank A/S Mikael Olai Milhoj mengatakan bahwa pound sterling juga dibayangi pemilu AS yang umumnya akan menyebabkan volatilitas untuk semua mata uang.
“Pound sterling benar-benar hanya menunggu apakah akan bergerak dalam kesepakatan atau tidak ada kesepakatan Brexit, dan saya akan khawatir jika tidak ada kesepakatan pada akhir November. Dengan adanya Pemilu AS, November akan sangat buruk bagi pound sterling,” papar Milhoj.
Berdasarkan data Bloomberg, pada penutupan perdagangan Jumat (16/10/2020) pound sterling parkir di zona merah, terkoreksi 0,09 persen ke posisi US$1,2915 per pound sterling.
Sementara itu, indeks dolar AS yang mengukur kekuatan greenback di hadapan sekeranjang mata uang utama bergerak cenderung menguat ke posisi 93,682.
Adapun, pound sterling dalam perdagangan enam bulan terakhir telah melemah hingga 3,84 persen. Kendati demikian, sepanjang tahun berjalan 2020 pound sterling berhasil menguat 2,57 persen.