Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dibayangi Isu Larangan Impor China, Begini Prospek Harga Batu Bara

Operator pembangkit listrik dan pabrik baja di China, konsumen terbesar di dunia, telah diberitahu untuk menghentikan penggunaan batu bara dari Australia.
Alat berat beroperasi di kawasan penambangan batu bara Desa Sumber Batu, Kecamatan Meureubo, Aceh Barat, Aceh, Rabu (8/7/2020). ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas
Alat berat beroperasi di kawasan penambangan batu bara Desa Sumber Batu, Kecamatan Meureubo, Aceh Barat, Aceh, Rabu (8/7/2020). ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas

Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah China melarang impor produk batu bara asal Australia sebagai buntut perselisihan antara kedua negara. Meski demikian, hal tersebut belum akan menimbulkan dampak signifikan terhadap pergerakan harga komoditas ini.

Dilansir dari Bloomberg pada Selasa (13/10/2020), pemerintah China telah melarang produk batu bara Australia masuk ke negara tersebut. Operator pembangkit listrik dan pabrik baja di China telah diberitahu untuk menghentikan penggunaan batu bara dari Australia.

Pelabuhan di Negeri Panda itu juga telah diminta untuk tidak menurunkan batu bara yang dikirimkan dari Australia.

Adapun seorang juru bicara bea cukai China menyatakan pihaknya akan memperkuat pengawasan impor terkait produk tersebut. Pelarangan ini berdampak pada turunnya harga batu bara acuan Newcastle pada level terendah selama hampir empat tahun.

Berdasarkan data Bloomberg pada penutupan perdagangan Senin (12/10/2020), harga batu bara Newcastle berjangka untuk kontrak Januari 2021 terpantau pada level US$57,80 per ton atau turun 4,78 persen. Pada penutupan perdagangan sebelumnya, harga batu bara juga melemah hingga 2,18 persen.

Saat ini, pemerintah Australia tengah meminta klarifikasi dari China terkait pemberhentian pembelian batu bara. Menteri Perdagangan Australia Simon Birmingham dalam sebuah wawancara menyatakan pihaknya telah melayangkan permohonan penjelasan terkait hal tersebut.

“Kami menganggap laporan tersebut sangat serius sehingga kami meminta pemerintah China untuk menghormati perjanjian China-Australia Free Trade Agreement dan obligasinya kepada WTO,” ujarnya dikutip dari Bloomberg.

Pelarangan impor tersebut adalah bentuk meningkatnya tensi hubungan antara kedua negara. Sebelumnya, China telah memangkas ekspor sejumlah komoditas agrikultur dari Australia menyusul langkah pemerintah Negeri Kangguru yang mendukung Amerika Serikat dalam konflik China – AS.

Perdana Menteri Australia, Scott Morrison pada April lalu juga meminta adanya investigasi independen untuk masuk ke wilayah China dan melacak asal mula penyebaran virus corona.

Adapun, sentimen pelarangan ini berimbas pada anjloknya saham-saham perusahaan produsen batu bara di Australia. Saham Whitehaven Coal Ltd. dan New Hope Corp. terkoreksi lebih dari 6 persen pada hari Selasa.

Sementara itu, Coronado Global Resources Inc, yang memiliki tambang coking coal Curragh di Queensland terjerembab lebih dari 10 persen.

China merupakan konsumen utama batu bara yang dihasilkan oleh Australia, dengan nilai ekspor yang mencapai seperempat dari keseluruhan ekspor batu bara Australia.

Menurut laporan dari Departemen Industri, Ilmu Pengetahuan, Energi dan Sumber Daya Australia, penerimaan ekspor dari bahan pembuat baja tersebut akan turun menjadi 23 miliar dolar Australia dari 35 miliar dolar Australia seiring dengan penurunan harga dan permintaan.

Selain itu, China juga merupakan negara tujuan terbesar kedua setelah Jepang untuk ekspor batu bara thermal. Penerimaan Australia dari sektor ini juga diprediksi merosot dari 20 miliar dolar Australia pada 2019 menjadi 15 miliar dolar Australia pada 2020.

Masalah di sektor bahan bakar fosil ini sudah tidak asing terjadi antara kedua negara. Pada 2019 lalu, pengiriman batu bara Australia ke China juga terhambat karena tertahan di pelabuhan. Meski demikian, China masih mampu memenuhi kebutuhannya terhadap batu bara jenis ini.

Sementara itu, industri pembuatan baja di China masih amat bergantung pada ekspor batu bara coking berkualitas tinggi. China mengimpor lebih dari 50 persen batu bara jenis ini dari Australia.

Gavin Wendt, Senior Resources Analyst MineLife mengatakan, industri baja di China masih amat membutuhkan impor batu bara dari Australia untuk menjaga efisiensi serta mengurangi emisi.

Di sisi lain, Australia merupakan pemasok batu bara dengan kualitas terbaik dan merupakan mitra dagang China yang dapat diandalkan karena menawarkan biaya yang rendah.

“Kedua pihak masih sangat bergantung pada satu sama lain,” tuturnya.

CEO sektor industri di Dewan Mineral Australia Tania Constable mengatakan, perdagangan dengan China terus berubah-ubah setiap tahun. Hal tersebut didasari oleh sejumlah faktor, salah satunya adalah kuota impor.

“Australia akan terus mencari permintaan untuk coking coal berkualitas tinggi dan outlook dalam jangka menengah-panjang masih positif,” jelasnya.

Kebijakan pengetatan impor yang dilakukan China dilakukan guna mengimbangi kebutuhan dari penambang dan konsumen di sektor industri. Terkait hal tersebut, pemerintah Australia telah mengantisipasi terjadinya perlambatan pengiriman.

“Volume impor batu bara metalurgi China di paruh kedua tahun 2020 akan dibatasi oleh lambatnya proses bea cukai di negara tersebut,” demikian kutipan dalam laporan Departemen Industri, Ilmu Pengetahuan, Energi dan Sumber Daya Australia yang dirilis pada September lalu.

Sementara itu, Chen Hong, Direktur Pusat Studi Australia di East China Normal University Shanghai mengatakan, pertimbangan dari pasar domestik akan menjadi faktor utama apabila pelarangan impor tersebut terealisasi. Ia mengatakan, China tidak akan pernah menggunakan kekuatan ekonominya untuk kepentingan politis.

“China telah mengkritik Amerika Serikat karena menggunakan kekuatan ekonomi sebagai senjatanya. Mereka tidak akan melakukan hal serupa,” jelasnya.

Adapun, China juga merupakan pembeli kunci komoditas ekspor utama Australia, yakni bijih besi. Apabila pelarangan impor meluas ke bijih besi, hal ini akan memberi dampak yang besar pada industri baja yang amat bergantung pada pasokan bijih besi berkualitas tinggi dan berharga murah dari perusahaan seperti Rio Tinto Group dan BHP Group.

Sementara itu, Analis Capital Futures Wahyu Laksono mengatakan, keputusan pelarangan impor batu bara yang dilakukan China sejalan dengan rencana pemerintah untuk mengurangi polusi dan mengkonsolidasikan sektor batu bara.

Ia melanjutkan, isu pelarangan impor dari China memang akan memberi dampak negatif pada harga batu bara ke depannya. Namun, efek yang ditimbulkan terhadap harga batu bara dinilai tidak akan terlalu signifikan.

Menurut Wahyu, Australia sudah pernah terkena pembatasan ekspor produk agriultur ke China. Di sisi lain, China juga masih sangat membutuhkan batu bara berkualitas tinggi dari Australia.

“Memang akan berdampak negatif, tetapi efeknya tidak akan seburuk sentimen perang dagang AS dan China,” katanya saat dihubungi pada Selasa (13/10/2020).

Wahyu memprediksi, harga batu bara akan kembali naik seiring dengan pembukaan kembali kegiatan ekonomi setelah pandemi virus corona. Hal ini akan mendorong pemulihan permintaan yang nantinya berimbas pada kenaikan harga batu bara.

Prospek harga batu bara juga ditentukan olehkebijakan China sebagai salah satu penghasil batu bara terbesar di dunia. Menurutnya, kebijakan China memang telah dirancang untuk mendorong kenaikan harga komoditas ini

“Beberapa strategi China seperti memanfaatkan harga yang turun untuk menimbun batu bara sehingga nantinya akan memicu rebound harga,” jelasnya.

Ia melanjutkan, meski resesi ekonomi telah terjadi pada sebagian besar negara, harapan pasar akan munculnya stimulus besar secara moneter maupun fiskal juga akan memicu kenaikan harga batu bara.

Hal tersebut, lanjutnya, akan memicu terjadinya reflationary trade yang juga telah didukung oleh bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed). Wahyu menjelaskan, saat ini The Fed menggunakan target rata-rata inflasi yang diperolehkan melewati 2 persen tanpa harus mengubah kebijakannya.

“Langkah ini sangat akomodatif dan longgar dan dapat memicu pelemahan dolar AS dan menguatkan lawan dolar AS seperti mata uang lain dan komoditas, termasuk batu bara,” jelasnya.

Hal senada juga diungkapkan Direktur TRFX Garuda Berjangka Ibrahim. Menurutnya, pelemahan harga batu bara hanya bersifat sementara. Menurutnya, potensi oversupply yang muncul seiring dengan pelarangan ekspor yang dilakukan China akan menghilang secara perlahan seiring dengan pembukaan kembali kegiatan ekonomi dunia.

Menurutnya, pembukaan kegiatan ekonomi akan memunculkan permintaan batu bara yang cukup tinggi dari sejumlah wilayah seperti Amerika Serikat dan negara-negara di kawasan Eropa yang akan memasuki musim dingin pada akhir tahun 2020 dan awal 2021.

“Negara-negara dari wilayah tersebut uumnya melakukan banyak impor batu bara karena mereka memiliki reaktor nuklir yang membutuhkan batu bara sebagai bahan bakarnya,” jelasnya.

Sementara itu, Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Andy Wibowo Gunawan dalam risetnya menyebutkan, kenaikan indeks manufaktur China akan berimbas pada pertumbuhan nilai impor batu bara China. Hal tersebut akan menjadi sentimen positif untuk harga batu bara global.

Selain itu, laporan tersebut juga memperkirakan kenaikan nilai perdagangan batu bara dari Australia ke China dan dari Indonesia ke China.

“Harga batu bara dunia akan sangat menarik seiring dengan sejumlah katalis positif yang ada di pasar,” demikian kutipan laporan tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper