Bisnis.com, JAKARTA – Prospek penurunan produksi dan kenaikan konsumsi di sejumlah negara menjadi sentimen yang dapat mendorong kenaikan harga minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO).
Berdasarkan data dari Bloomberg pada Kamis (8/10/2020), harga minyak sawit terpantau naik 22 poin atau 0,77 persen pada level 2.892 ringgit per ton. Adapun harga CPO telah naik 40,98 persen dari posisi terendahnya pada akhir April 2020 lalu dan menguat 20,74 persen dalam tiga bulan terakhir.
Sementara itu, berdasarkan data dari laman Bursa Malayia, harga minyak kelapa sawit untuk pengiriman Desember 2020 sempat mencapai level 2.908 ringgit per ton sebelum berakhir di posisi 2.870 ringgit per ton atau naik 20 poin dari posisi pembukaan senilai 2.858 ringgit per ton.
Institutional Sales Manager Phillip Futures Kuala Lumpur Marcello Cultrera mengatakan, pergerakan harga ini didukung oleh penurunan angka produksi pada bulan Oktober. Kenaikan biji-bijian dan minyak sayur juga turut menopang kenaikan harga minyak kelapa sawit.
“Pasar juga memantau dampak dari siklus La Nina di Asia Tenggara dan Amerika Selatan terhadap pergerakan harga,” katanya dikutip dari Bloomberg.
Menurut Malaysian Palm Oil Association, produksi minyak kelapa sawit di Malaysia menunjukkan tren kenaikan. Pada September 2020, produksi minyak kelapa sawit melonjak 3,1 persen dibandingkan posisi Agustus 2020.
Baca Juga
Sathia Varqa dari Palm Oil Analytics di Singapura mengatakan, level produksi ini diperkirakan akan membuat cadangan minyak sawit berkurang dan berimbas pada turunnya tingkat support harga.
Sementara itu, Head of Trading and Hedging Strategies Kaleesuwari Intercontinental, Gnanasekar Thiagarajan mengatakan, prospek ekspor minyak sawit mengalami kenaikan menjelang musim perayaan di India. Sepanjang Oktober dan November, masyarakat India akan merayakan sejumlah hari besar.
“Permintaan minyak konsumsi akan naik selama musim perayaan ini karena masyarakat banyak mengkonsumsi makanan yang digoreng serta manisan,” jelasnya.
Direktur TRFX Garuda Berjangka Ibrahim menjelaskan, pergerakan harga CPO pada hari ini ditopang oleh prospek penutupan kembali batas negara-negara akibat pandemi virus corona. Hal ini akan menghambat alur keluar-masuk komoditas, termasuk CPO.
“Pelaku pasar khawatir negara-negara importir tradisional seperti Korea Selatan, dan China akan mengurangi permintaannya,” ujar Ibrahim saat dihubungi pada Kamis (8/10/2020).
Selain itu, simpang-siur paket stimulus bertahap dari AS juga menjadi sentimen untuk minyak kelapa sawit pada hari ini. Ketua DPR AS dari Partai Demokrat Nancy Pelosi mengisyaratkan prospek paket bantuan terhadap tagihan bantuan maskapai penerbangan mandiri dalam percakapan dengan Menteri Keuangan Steven Mnuchin pada hari Rabu.
Padahal, sebelumnya Presiden AS, Donald Trump telah menghentikan pembicaraan paket stimulus. Hal ini memunculkan kebingungan diantara pelaku pasar yang membuat harga minyak kelapa sawit sempat melemah.
Prospek Harga
Meski demikian, Ibrahim mengatakan prospek harga CPO di sisa tahun ini masih cukup baik. Salah satu penopang kenaikan CPO adalah omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja yang mempermudah masuknya investor ke sektor-sektor investasi pilihan Indonesia.
Selain itu upaya pemerintah Indonesia yang menggalakkan penggunaan bahan bakar biodiesel B30 dan B40 juga akan mengerek naik harga minyak kelapa sawit. Saat ini, Ibrahim mengatak sentimen ini belum muncul secara signifikan karena upaya pemerintah dalam menanggulangi dampak virus corona.
Hal ini juga ditambah dengan gelombang demonstrasi penolakan omnibus law yang sedikit menimbulkan ketidakpastian di pasar Indonesia. Menurutnya, usaha-usaha pemerintah terkait penggunaan biodiesel akan kuat setelah gelombang demonstrasi dan wabah virus corona telah usai.
Hal senada juga diungkapkan Analis Capital Futures Wahyu Laksono, Menurutnya, peluang kenaikan harga CPO masih cukup terbuka seiring dengan faktor musim hujan yang terjadi pada sejumlah negara pengekspor seperti Malaysia dan Indonesia.
Wahyu menjelaskan, frekuensi hujan yang akan lebih tinggi berpotensi menghambat pengiriman minyak kelapa sawit. Hal ini akan berimbas pada penurunan produksi dan menyebabkan kenaikan harga CPO.
Prospek kenaikan harga minyak kelapa sawit juga didukung oleh lonjakan harga yang dialami oleh komoditas kompetitor, yakni kacang kedelai. Ia menuturkan, selama sebulan terakhir harga kacang kedelai telah naik 13 persen seiring dengan antisipasi penurunan produksi minyak kelapa sawit dari Indonesia dan Malaysia.
“Selain itu, pada akhir tahun harga CPO memang cenderung menguat seiring dengan musim yang mendukung sektor energi seperti minyak dan gas alam,” tambahnya.
Pergerakan harga CPO juga akan dipengaruhi oleh sentimen di AS. Kabar pemilihan presiden dan kelanjutan paket stimulus fiskal bertahap dinilai akan mendukung ekonomi dan bursa saham di negara tersebut, sehingga akan turut mengerek naik nilai minyak kelapa sawit.
Lebih lanjut, kebijakan yang diambil oleh bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) juga mendukung kenaikan harga komoditas, termasuk CPO. Wahyu menjelaskan, saat ini The Fed menggunakan target rata-rata inflasi yang diperolehkan melewati 2 persen tanpa harus mengubah kebijakannya.
Kebijakan ini, ujar Wahyu, sangat akomodatif dan dapat memicu pelemahan dolar AS serta menguatkan lawan dolar AS seperti mata uang lain dan komoditas seperti minyak kelapa sawit.
“Kondisi-kondisi tersebut masih mengarah kepada skenario yang mendukung terjadinya reflationary trade. Kemungkinan kenaikan terbatas pada CPO masih cukup terbuka,” pungkasnya.