Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak sawit atau crude palm oil (CPO) berhasil rebound setelah terpuruk di zona merah selama empat hari perdagangan berturut-turut. Rilis data produksi CPO Indonesia yang lebih lemah menjadi pemicu.
Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Kamis (13/8/2020) hingga pukul 15.20 WIB harga CPO berjangka di bursa Malaysia untuk kontrak Oktober 2020 berhasil rebound 1,41 persen atau naik 38 poin dari perdagangan sebelumnya ke level 2.726 ringgit per ton.
Sejak menyentuh level terendahnya pada awal Mei 2020, harga CPO telah merangkak naik sekitar 37,42 persen. Harga CPO saat ini pun semakin dekat dengan level perdagangannya pada awal tahun ini di 2.780 ringgit per ton.
Adapun, sepanjang tahun berjalan 2020, harga CPO masih bergerak melemah 4,64 persen.
Untuk diketahui, minyak sawit berjangka sempat menetap di zona merah selama empat hari perdagangan berturut-turut didorong sentimen penurunan harga minyak kedelai dan ekspektasi pasar terkait pemulihan tingkat produksi di Malaysia yang dikhawatirkan akan membanjiri pasokan global.
Pasalnya, permintaan diyakini masih cenderung tidak stabil sehingga pasar cemas pasokan itu tidak dapat diserap dengan baik.
Baca Juga
Founder Palm Oil Analytics Singapura Sathia Varqha mengatakan bahwa harga sempat terkoreksi karena aksi ambil untuk setelah menyentuh level tertinggi sejak awal tahun ini.
“Harga terkoreksi karena tersulut penurunan harga minyak kedelai dan ekspektasi produksi Malaysia yang diperkirakan mencapai puncaknya selama periode Agustus-Oktober,” ujar Varqha seperti dikutip dari Bloomberg, Kamis (13/8/2020).
Direktur TRFX Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan bahwa penguatan harga saat ini berhasil didorong oleh rendahnya data produksi CPO Indonesia sepanjang paruh pertama tahun ini.
Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), volume ekspor sawit dalam negeri sepanjang semester I tercatat turun 11 persen menjadi 15,5 juta ton dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 17,5 juta ton.
Selain itu, produksi sawit pada Januari-Juni 2020 mencapai 23,5 juta ton. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan akumulasi produksi semester I 2019 yang menyentuh 25,8 juta ton.
“Sentimen itu membantu harga, belum lagi di Malaysia juga mengalami tekanan produksi karena kendala tenaga kerja seiring dengan pandemi Covid-19,” ujar Ibrahim kepada Bisnis, Kamis (13/8/2020).
Berdasarkan data Dewan Minyak Sawit Malaysia, output CPO Malaysia pada Juli 2020 turun 4 persen dari bulan sebelumnya menjadi sebesar 1,8 juta ton, meskipun negara itu memasuki puncak musim produksi.
Persediaan minyak sawit Malaysia juga turun hampir 11 persen secara bulanan menjadi 1,69 juta ton pada akhir Juli 2020.
Adapun, rilis data produksi dan ekspor itu mencuat bersamaan dengan prospek pemulihan permintaan di beberapa negara konsumen utama CPO, seperti China dan India, yang kembali meningkat.
India dikabarkan akan segera mengangkat kebijakan lockdownnya sehingga mencerahkan prospek permintaan yang selama ini tidak begitu baik. Sementara itu, di China yang terus memberikan sinyal pertumbuhan ekonominya semakin membaik juga diyakini siap memborong CPO untuk memenuhi kebutuhan yang tertunda selama lockdown pada kuartal I/2020.
Belum lagi, indeks dolar AS yang mulai kembali menguat sehingga melemahkan ringgit dan membuat CPO menjadi lebih murah bagi investor dengan denominasi mata uang asing lain.
Adapun, indeks dolar AS yang mengukur kekuatan greenback di hadapan sekeranjang mata uang utama berada di level 93,138.
Oleh karena itu, Ibrahim memprediksi harga CPO dapat menyentuh level 3.400 ringgit per ton hingga akhir tahun didukung banyaknya katalis positif yang tersebar di pasar. Dia pun menegaskan bahwa harga CPO masih berada di jalur bullish yang juga akan dorong sentimen penyerapan dari Indonesia yang tinggi.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) Joko Supriyono mengemukakan konsumsi domestik sawit naik 2,9 persen dari 8,42 juta ton pada Januari-Juni 2019 menjadi 8,66 juta ton pada semester I 2020.
Kenaikan signifikan disebut Joko disumbang oleh serapan produk oleokimia yang tumbuh 39,5 persen akibat meningkatnya produksi produk sanitasi seperti disinfektan dan hand sanitizer. Konsumsi domestik biodiesel pun tercatat mencapai 4,19 juta kiloliter sepanjang semester I.
“Market share konsumsi domestik sejauh ini mencapai 37 persen. Padahal biasanya hanya 30 persen. Kami harap penguatan pasar domestik bisa tetap konsisten sehingga bisa menjadi penyeimbang lemahnya pasar ekspor,” kata Joko.
Sementara itu, Strategist Eastport Maritime Singapura Andrew Shipley dalam risetnya mengatakan bahwa persediaan minyak sawit di Indonesia juga diperkirakan akan turun ke level terendah dalam 16 bulan sebesar 3 juta ton pada akhir Juli, karena banjir di Kalimantan dan Sumatera telah mengganggu panen tandan buah segar.
Selain itu, konsumsi domestik yang sedikit lebih tinggi di bulan Juli untuk program pencampuran biodiesel B30 yang sedang berlangsung mungkin juga berkontribusi pada penurunan stok.
“Turunnya persediaan dapat terus meningkatkan harga minyak sawit, yang telah meningkat hampir 20 persen sejak akhir Juni,” ujar Shipley dalam publikasi risetnya seperti dikutip dari Bloomberg, Kamis (13/8/2020).