Bisnis.com, JAKARTA – Volatilitas pasar yang cukup tinggi dalam beberapa minggu terakhir terkhusus untuk saham emiten perbankan membuat banyak investor gelisah bertransaksi saham sektor tersebut.
Terkhususnya PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI), kendati menjadi penopang indeks dengan kenaikan sebesar 4,26 persen pada perdagangan Jumat (12/6/2020), harga sahamnya sempat anjlok pada pertengahan pekan ini.
Bahkan pada Rabu (10/6/2020), saham emiten pelat merah tersebut terkena auto reject bawah atau ARB dengan koreksi sebesar 6,91 persen. Lalu, bagaimanakah prospek saham BMRI? Apakah masih atraktif?
Sebagai catatan, BMRI membukukan pertumbuhan laba setelah pajak sebesar 9,44 persen secara tahunan menjadi Rp7,92 triliun pada paruh pertama tahun 2020.
Pertumbuhan laba ini didorong oleh peningkatan pendapatan non bunga (fee based income/FBI) sebesar 23,95 persen secara year-on-year (yoy) menjadi Rp7,74 triliun.
Adapun, per 31 Maret 2020, pendapatan operasional tumbuh 13,46 persen secara tahunan, sedangkan dari sisi biaya operasional tumbuh 13,26 persen secara tahunan atau yoy dan biaya cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) tumbuh 26,19 persen yoy menjadi Rp3,4 triliun.
Baca Juga
Analis Mirae Asset Sekuritas Lee Youngjun mengatakan BMRI memang terlihat sangat berhati-hati menghitung pendapatannya untuk sisa tahun 2020 akibat dari penyebaran Covid-19.
“Meskipun hasil kuartal satu tahun ini cukup solid dan lebih baik dari perkiraan, kami tetap berhati-hati dan menurunkan rekomendasi kami dari tahan menjadi jual saham BMRI dengan target harga yang sedikit lebih tinggi yakni Rp4.350 dari Rp4.240,” tulisnya dalam riset, Selasa (9/6/2020).
Target harga tersebut mempertimbangkan P/B (price-to-book ratio) sebesar 1 kali estimasi BPS selama 12 bulan ke depan dengan perkiraan bahwa bank akan menghasilkan ROE (return on equity) sebesar 11,2 persen, dengan rata-rata historis 5 tahun rata-rata 14,1 persen.
Hingga 5 Juni 2020, sekuritas memberi catatan, total pinjaman restrukturisasi yang disetujui perseroan adalah sebesar Rp99 triliun dari pipeline Rp123,1 triliun.
Emiten anggota konstituen Bisnis-27 tersebut sebelumnya memproyeksikan pinjaman yang direstrukturisasi lebih Rp200 triliun, tetapi tampaknya manajemen mulai mempertimbangkan untuk menghindari kasus terburuk dampak negatif Covid-19.
“Kami juga merevisi kenaikan biaya kredit dari +36bps menjadi +46bps pada tahun 2020, serta menyesuaikan pertumbuhan pendapatan kami dari -13,5% yoy menjadi -16,2% yoy,” pungkasnya.