Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dolar AS Perkasa, Harga Minyak Tekan Mata Uang Negara Penghasil Energi

Dolar Amerika Serikat (AS) diperdagangkan di kisaran level tertingginya dalam dua pekan pada perdagangan pagi ini, Rabu (22/4/2020), di tengah suramnya prospek ekonomi global.
Ilustrasi Dolar AS/Reuters
Ilustrasi Dolar AS/Reuters

Bisnis.com, JAKARTA – Dolar Amerika Serikat (AS) diperdagangkan di kisaran level tertingginya dalam dua pekan pada perdagangan pagi ini, Rabu (22/4/2020), di tengah suramnya prospek ekonomi global.

Berdasarkan data Bloomberg, indeks dolar AS, yang mengukur kekuatan dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama, naik tipis 0,02 persen atau 0,025 poin ke posisi 100,283 pukul 11.10 WIB.

Pada perdagangan Selasa (21/4/2020), dolar AS menguat terhadap setiap mata uang negara-negara G-10 sehingga mendorong Bloomberg Dollar Spot Index menanjak sebesar 0,6 persen.

Greenback melonjak ke level tertingginya dalam hampir dua pekan karena mata uang negara lain yang terkait dengan minyak mentah terbebani prospek untuk pertumbuhan ekonomi global yang semakin suram dan runtuhnya permintaan minyak mentah.

Pergerakan dolar AS selama satu setengah bulan terakhir telah menjadi daya tarik bagi investor karena mata uang ini merupakan indikator utama seberapa resahnya para pedagang tentang dampak pandemi virus corona (Covid-19) terhadap ekonomi.

Jatuhnya harga minyak mentah berjangka ke zona negatif pada Senin (20/4/2020), pun mendorong dolar bergerak ke posisi lebih tinggi karena situasi ini membebani mata uang dari negara-negara produsen energi.

Nilai tukar krone Norwegia, yang mencatat penurunan terburuk terburuk di antara mata uang negara G10 pada Selasa (21/4), melemah 1,6 persen. Adapun, dolar Kanada terdepresiasi 0,2 persen setelah melorot 0,8 persen sebelumnya.

Sejumlah analis melihat pukulan yang dipicu Covid-19 terhadap permintaan untuk minyak mentah menimbulkan tekanan untuk mata uang tersebut selama beberapa bulan mendatang.

Pada saat yang sama, kemerosotan saham-saham AS juga membantu mendorong para pedagang memburu dolar AS yang cenderung dipandang sebagai aset lindung. Mata uang emerging market pun melemah, dengan rubel Rusia melorot 2,1 persen terhadap dolar AS.

“Mereka akan tetap benar-benar volatile, dalam hal mata uang terkait minyak dan minyak itu sendiri. Ini bisa bertahan lebih lama,” ujar Brad Bechtel, kepala valuta asing global di Jefferies, seperti dilansir melalui Bloomberg.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper