Bisnis.com, JAKARTA – Return pada instrumen surat utang di tahun 2020 diramalkan kembali ke single digit karena pemangkasan suku bunga acuan tak akan seagresif di tahun ini.
Dikutip dari laman Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA), per Rabu (27/11/2019), indeks komposit obligasi Indonesia (Indonesia Composite Bond Index/ICBI) secara tahun berjalan berada di level 13,33 persen. Adapun, hal itu ditopang oleh obligasi Pemerintah yang menawarkan return sebesar 13,34 persen sedangkan obligasi korporasi dengan return 13,19 persen.
Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas, Ramdhan Ario Maruto memprediksi kinerja pasar obligasi di tahun depan tak bisa mengulang masa emasnya. Menurutnya, return mencapai double digit hanya terjadi di tahun ini dan tak berlanjut di tahun depan.
Dia menyebut pada tahun depan return yang ditawarkan pasar obligasi masih cukup menarik di kisaran 8 persen hingga 10 persen. Alasannya, ruang penguatan yang sudah terbatas dengan pelonggaran moneter yang tak agresif meskipun masih ada peluang pemangkasan suku bunga acuan baik oleh Bank Indonesia dan Bank Sentral AS.
Seperti diketahui, pada tahun ini pemangkasan suku bunga acuan menyentuh 100 basis poin yang dieksekusi Bank Indonesia melalui empat kali pemangkasan selama empat bulan berturut-turut. Walhasil, suku bunga acuan yang semula berada di level 6 persen susut menjadi 5 persen.
Selain itu, faktor perubahan peringkat utang dari BBB- menjadi BBB menjadi pendorong masuknya dana-dana asing sehingga harga surat utang terkerek dan imbal hasil turun. Menurutnya, masa emas obligasi bisa saja terulang di tahun depan bila kredit utang yang lebih baik dirilis.
“Tahun depan [return pasar obligasi] di bawah 10 persen, 8 persen sampai 10 persen. Kalau saya lihat, tahun depan [return pasar obligasi] nggak sebagus tahun ini. Potensi penguatan kasih adalah cuma udah terbatas,” ujarnya, belum lama ini.
Dia pun memperkirakan tahun depan surat utang negara (SUN) tenor 10 tahun bakal memiliki imbal hasil sebesar 6,7 persen hingga 6,8 persen. Dia menuturkan sulit bagi imbal hasil SUN tenor 10 tahun menyentuh level 6,5 persen. Imbal hasil SUN tenor 10 tahun, tuturnya, sulit turun signifikan pada tahun depan karena masih dibayangi faktor eksternal. Faktor eksternal seperti perlambatan ekonomi dan perang dagang China-AS menjadi sentimen yang harus diwaspadai sehingga yield SUN tenor 10 tahun bisa terjaga di level rendah.
“Tahun depan yield kita akan bisa 6,7 persen-6,8 persen. Cuma harus hati-hati di awal tahun depan.
Setelah itu, harus melihat eksternalnya sehingga [untuk sampai ke level] 6,5 persen juga agak berat,” katanya.
Kepala Riset Infovesta Utama, Wawan Hendrayana mengatakan penurunan suku bunga acuan bakal turun setidaknya dua kali lagi sehingga suku bunga acuan akan berada di level 4,5 persen hingga 4,75 persen. Dengan asumsi tersebut, dia memproyeksikan return pasar obligasi berada di level 6 persen hingga 7 persen atau terpangkas hingga separuh dari return saat ini.
Kendati return yang cenderung menyusut di tahun depan, dia menyebut pasar obligasi masih menarik karena instrumen SUN menjadi pilihan kala prospek ekonomi muram. Instrumen SUN pun masih lebih menarik bila dibandingkan dengan deposito karena imbal hasilnya terhubung dengan suku bunga acuan yang berlaku.
“Tahun depan sendiri tetap prediksi akan tetap turun dua kali lagi. Kalau mengharap return seperti tahun ini [dari pasar obligasi], nggak bisa. Di tahun depan [return pasar obligasi] 6 persen-7 persen,” katanya.
Kepala Penjualan dan Distribusi Ashmore Asset Management Indonesia, Steven Satya Yudha mengatakan imbal hasil di pasar obligasi akan berada di rentang 8 persen hingga 9 persen. Dia menyebut proyeksi tersebut bertolak pada asumsi inflasi sebesar 3,1 persen dan suku bunga acuan yang berada di level 4 persen hingga 4,25 persen. Kemudian, imbal hasil SUN tenor 10 tahun berada di level 5,7 persen hingga 6 persen di akhir tahun 2020.
Berbeda dengan obligasi, dia memperkirakan pasar saham menawarkan return lebih besar yakni di kisaran 10 persen hingga 12 persen yang mencerminkan pertumbuhan laba emiten dan asumsi harga berbanding pendapatan (price per earning ratio/p/e) sebesar 15 kali hingga 15,5 persen.
“Ekspektasi kinerja pasar obligasi pada kisaran 8 persen-9 persen sementara pasar saham pada kisaran 10 persen-12 persen dengan asumsi pertumbuhan laba di angka yang sama,” katanya.