Bisnis.com, JAKARTA - Pabrik peleburan tembaga di China tampaknya tidak mengindahkan proyeksi perlambatan ekonomi global akibat perang dagang yang juga telah membebani prospek permintaan tembaga. Produksi tembaga China justru mencatatkan rekor produksi bulanan dan laju harian terbesar pada Oktober lalu.
Berdasarkan data Biro Statistik Nasional terbaru, pabrik peleburan tembaga China menghasilkan sebanyak 868.000 ton tembaga pada Oktober, melampaui rekor tertinggi pada Desember 2017.
Selain itu, produksi harian rata-rata tembaga di China pada Oktober mencapai 28.000 ton atau naik 17,9% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu dan melebihi rekor pada bulan sebelumnya.
Padahal, pasar tembaga saat ini berada dalam tekanan. Harga tembaga gagal membuat kemajuan pada 2019 karena melambatnya pertumbuhan dan konsumsi akibat perang dagang AS dan China yang masih belum terselesaikan. Sepanjang tahun berjalan 2019, tembaga telah terdepresiasi 2,5%.
Oleh karena itu, kenaikan jumlah pasokan di tengah lemahnya permintaan hanya akan semakin melukai harga tembaga.
Tidak hanya China, Analis CRU Charlie Durant memperkirakan bahwa tahun depan menjadi tahun kebangkitan bagi pasokan tembaga global dari penurunan pasokan tahun ini sebesar 0,8%. Pihaknya memperkirakan pertumbuhan pasokan tembaga global pada 2020 akan menyamai pertumbuhan permintaan, yaitu sekitar 1,4%.
Baca Juga
“Jangka panjang, semakin banyak pasokan tembaga yang akan didorong dari proyek-proyek pertambangan baru,” ujar Charli seperti dikutip dari Bloomberg, Senin (18/11/2019).
Kendati demikian, pasokan tembaga juga masih akan mengalami beberapa risiko tekanan seperti kerusuhan di Chili, negara yang memasok sekitar 30% dari tembaga dunia sehingga dapat membantu harga menguat.
Tambang Chili kemungkinan akan selamat dari protes, lanjutnya, tetapi aliran material dapat terganggu melalui kerusakan infrastruktur seperti jalan dan pelabuhan. Selain itu, risiko pasokan tembaga lainnya adalah iklim politik yang tidak pasti di negara-negara Afrika yang kaya tembaga, tambahnya.
Di sisi lain, dari sisi permintaan, melemahnya ekonomi China yang mewakili 50% dari konsumsi tembaga global, akan menjadi alasan utama permintaan tembaga pada tahun depan masih dalam tekanan.
Sementara itu, penggunaan kendaraan listrik yang tampak menjanjikan untuk permintaan tembaga dalam jangka panjang, diprediksi tidak akan memiliki dampak terhadap permintaan yang cukup berarti sampai pertengahan 2020.
Adapun, pada perdagangan Senin (18/11/2019) hingga pukul 14.40 WIB, harga tembaga di bursa London bergerak menguat 0,18% menjadi US$5.853 per ton di tengah optimisme pasar terkait kesepakatan perdagangan AS dan China tahap pertama semakin dekat untuk direalisasikan.
AS dan China dikabarkan kembali melakukan negosiasi yang cukup konstruktif pada Sabtu (16/11/2019) dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri China Liu He, Perwakilan Perdagangan AS Robert Lightizer, dan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin.