Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Prospek Permintaan Baja Memburuk Tertekan Ekonomi Global dan Data PMI China

Pemerintah Australia memangkas prospek permintaan baja global di tengah berlanjutnya perang dagang AS-China dan perlambatan industri Negeri Panda.
Pekerja memeriksa kualitas lempengan baja panas di pabrik pembuatan hot rolled coil (HRC) PT Krakatau Steel (Persero) Tbk di Cilegon, Banten, Kamis (7/2/2019)./ANTARA-Asep Fathulrahman
Pekerja memeriksa kualitas lempengan baja panas di pabrik pembuatan hot rolled coil (HRC) PT Krakatau Steel (Persero) Tbk di Cilegon, Banten, Kamis (7/2/2019)./ANTARA-Asep Fathulrahman

Bisnis.com, JAKARTA -- Prospek permintaan baja global makin memburuk seiring meningkatnya prospek perlambatan ekonomi global dan melemahnya data indeks Purchasing Manager (PMI) China, negara konsumen logam terbesar di dunia. 

Pemerintah Australia, sebagai salah satu eksportir bijih besi utama dunia, telah memangkas prospek permintaan baja global karena ketegangan perdagangan AS-China yang berkelanjutan dan perlambatan pertumbuhan ekonomi global telah memukul industri baja dengan cukup keras dalam setahun terakhir.

Negeri Kangguru memperkirakan produksi dan konsumsi baja dunia menjadi lebih rendah daripada yang diperkirakan pasar pada tahun ini dan akan terus berlanjut dalam beberapa tahun ke depan.

“Risiko terhadap prospek permintaan telah meningkat dalam beberapa bulan terakhir karena berbagai potensi pelemahan ekonomi global sudah muncul,” tulis Pemerintah Australia dalam laporan kuartalannya seperti dikutip dari Bloomberg, Senin (30/9/2019).

Kemungkinan, pelemahan ekonomi global dapat datang lebih awal selama AS sebagai negara dengan ekonomi terbesar di dunia, masih dibayangi ancaman resesi.

Katalis potensial lainnya yang menghambat pertumbuhan ekonomi global adalah utang tinggi di China dan ekonomi Jerman serta beberapa negara Eropa yang cenderung mengalami kemunduran.

Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa efek keseluruhan dari perlambatan ekonomi global terhadap baja sesungguhnya tetap sulit diproyeksi karena banyak negara cenderung merespons hal tersebut dengan langkah-langkah stimulus yang biasanya melibatkan pembangunan infrastruktur dan produksi baja yang lebih besar.

Sementara itu, output baja China, yang menyumbang lebih dari setengah pasokan baja dunia, juga menghadapi tekanan karena penurunan konsumsi domestik di tengah prospek peningkatan ekspor dan langkah-langkah stimulus potensial dari Pemerintah China.

Tekanan juga datang dari sisi harga, yang melonjak pada paruh pertama tahun ini. Harga melesat hingga lebih dari US$120 per ton akibat jebolnya bendungan di area milik Vale SA di Brasil pada awal 2019 dan adanya gangguan pasokan di Australia.

Bahkan, Morgan Stanley dan Macquarie Group Ltd memasukkan bijih besi dalam pilihan aset komoditas yang paling tidak disukai di antara aset komoditas lainnya. Kedua perusahaan keuangan tersebut melihat prospek bearish pada bijih besi.

Hal tersebut juga tercermin dari proyeksi impor bijih besi China yang menurun hingga 2020 dan ekspor Australia diperkirakan terkontraksi tahun ini, sebelum meningkat pada 2020 dan 2021.

Sementara itu, indeks PMI China menunjukkan kontraksi selama empat bulan berturut-turut. PMI China periode September 2019, dirilis di level 44,2, jauh di bawah level 50 yang merupakan garis pemisah antara ekspansi dan kontraksi.

Gambaran yang suram tersebut ditambah dengan sinyal meningkatnya pasokan dari Brasil dan Australia. Pada kuartal akhir tahun ini, Vale memperkirakan dapat memulihkan kapasitas produksi menjadi sekitar 20 juta ton.

Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Senin (30/9) hingga pukul 15.10 WIB, harga bijih besi di bursa Singapura untuk kontrak November 2019 bergerak menguat 3,19 persen menjadi US$88,7 per ton.

Sepanjang tahun berjalan 2019, bijih besi telah bergerak 31,19 persen. Namun, pada kuartal ketiga tahun ini, harga bijih besi telah melemah 13,4 persen.

Sementara itu, harga baja rebar di bursa Shanghai bergerak menguat 1,49 persen menjadi 3.485 yuan per ton dan harga baja HRC di bursa Shanghai menguat 0,87 persen menjadi 3.280 yuan per ton.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Finna U. Ulfah
Editor : Annisa Margrit

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper