Bisnis.com, JAKARTA -- Sejumlah pedagang dan analis memperkirakan bahwa China akan mulai menghindari impor minyak mentah Amerika Serikat di tengah peningkatan ketegangan perang dagang, sebuah kondisi yang akan menjerat komoditas utama yang selama ini lolos dari sanksi tarif.
Menurut para pedagang yang memasok minyak AS ke China, menyusul eskalasi perang dagang sepekan terakhir, beberapa pembeli Tiongkok kemungkinan akan mulai mengurangi pembelian minyak dari AS sebagai antisipasi jika Beijing akan mengenakan tarif.
Kebijakan retribusi atas gas alam dan kedelai telah menghentikan impor China untuk produk-produk tersebut.
Jika minyak mentah masuk ke dalam daftar tarif hanya akan mengganggu hubungan antara produsen dan importir minyak mentah terbesar di dunia yang seharusnya saling menguntungkan.
Tahun lalu AS melampaui Arab Saudi dan Rusia sebagai negara pembeli minyak terbesar, sedangkan China menempati urutan teratas pada 2017.
"Jika Presiden AS Donald Trump memberlakukan ancaman tarif 1 September, Beijing kemungkinan besar akan membalas dengan pungutan terhadap, atas sebagian besar, jika tidak semua, impor AS, termasuk minyak," Michal Meidan, Direktur Program Energi China di Institut Studi Energi Oxford, menulis dalam sebuah catatan, seperti dikutip melalui Bloomberg, Rabu (7/8/2019).
Menurut seseorang yang memiliki informasi terkait isu ini, Sinopec, pengilangan terbesar di China, hingga saat ini masih terus membeli minyak Amerika,
Sementara itu, Unipec, anak usaha di bidang perdagangan, berencana untuk memuat dua supertanker dengan minyak mentah Bakken dan Permian bulan ini untuk pengiriman ke sistem pemurniannya dan mencari pasokan pada September, kata sumber yang sama.
"Sepertinya tarif minyak mentah tidak bisa dihindari jika segalanya [tarif pada produk lain] meningkat," kata Li Li, seorang analis pada peneliti komoditas ICIS-China.
Prediksi yang sama juga disampaikan, salah satu pedagang di sebuah perusahaan yang memasok China dan memiliki kontrak jangka panjang untuk membeli minyak mentah AS mengatakan Beijing mungkin akan menerapkan tarif balasan, meskipun belum ada pemberitahuan resmi dari langkah tersebut.
Dua pedagang lain yang secara teratur menjual minyak mentah Amerika ke China mengatakan mereka mengharapkan penyuling mengendalikan pembelian untuk menunjukkan dukungan mereka kepada Presiden Xi Jinping, bahkan jika tidak ada tarif yang diterapkan.
"Impor Sinopec untuk minyak mentah AS akan berlanjut kecuali harga tidak ekonomis atau jika pungutan impor diberlakukan," kata seseorang yang mengetahui masalah tersebut.
Ini artinya, tidak semua pembelian Unipec akan berakhir di China, karena perusahaan telah menjual kembali kargo ke tujuan lain di Asia dan Eropa di mana imbal hasilnya lebih menarik.
Meskipun nilai perdagangan minyak antara AS dan China tidak besar, hilangnya akses dapat membuat beberapa penyuling China harus berjuang untuk menemukan minyak yang lebih ringan dan bersulfur rendah seperti yang diproduksi AS.
Minyak dengan karakter tersebut cenderung menghasilkan bahan bakar yang lebih bersih yang banyak diminati karena aturan internasional baru tentang pengiriman bahan bakar, yang mulai berlaku tahun depan.
Menurut data dari perusahaan minyak Eni SpA, AS memproduksi sekitar 41% dari minyak dunia dengan kepadatan rendah dan bersulfur rendah pada tahun 2018, dibandingkan dengan sekitar 14% pada 2000.
Adapun, China mulai membeli minyak dari AS pada pertengahan 2015, di mana volumenya memuncak pada Januari 2018 menjadi sebesar 2 juta ton, atau sekitar 5% dari total impor.
Pembelian itu pada dasarnya terhenti antara Oktober dan Maret karena perang dagang, tetapi naik lagi pada kuartal kedua, mencapai 769.000 ton pada Juni.
Nilai minyak mentah yang lebih ringan dengan memiliki kualitas serupa dengan minyak AS juga diproduksi di Laut Utara, sebagian Afrika, dan Asia Tengah.
Pembeli China telah membeli lebih banyak minyak dari Inggris saat perang perdagangan meningkat.
Pembelian rata-rata 1,08 juta ton per bulan tahun ini, dibandingkan dengan 644.000 ton per bulan pada 2018.
Minyak mentah Brent jatuh ke pasar yang bearish pada Selasa (6/8/2019), setelah turun lebih dari 20% dari puncaknya pada April.
Meidan dari OIES mengatakan bahwa gangguan aliran minyak AS ke China akan menjadi awal dari perang perdagangan yang memburuk, yang selanjutnya dapat mengganggu prospek permintaan global.
"Meskipun eksportir AS akan menemukan tujuan alternatif, prospek ekonomi global yang akan menjadi lebih goyah pada akhirnya membebani kegiatan perdagangan minyak," kata Meidan.