Bisnis.com, JAKARTA - Rupiah berhasil melanjutkan penguatannya selama 5 hari berturut-turut pada perdagangan Senin (24/6/2019), seiring dengan neraca perdagangan Indonesia periode Mei berhasil tercatat surplus sebesar US$207,6 juta.
Berdasarkan data Bloomberg, pada penutupan perdagangan Senin (24/6/2019) rupiah berada pada level Rp14.147 per dolar AS, menguat tipis 0,06% atau 8 poin.
Direktur Utama PT Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan bahwa surplusnya neraca perdagangan Indonesia periode Mei telah menjadi katalis positif bagi pergerakan rupiah.
Badan Pusat Statistik mencatat, surplus neraca perdagangan kali ini disebabkan oleh surplus nonmigas sebesar US$1,18 miliar, sedangkan defisit di sektor migas sebesar US$977,6 juta.
"Akibat sentimen tersebut, pada perdagangan Selasa (25/6/2019) rupiah berpotensi ditransaksikan cenderung menguat di level Rp14.127 per dolar AS hingga Rp14.190 per dolar AS," ujar Ibrahim seperti dikutip dari keterangan resminya, Senin (24/6/2019).
Walaupun demikian, neraca perdagangan sepanjang Januari-Mei 2019 masih tercatat defisit US$2,14 miliar, yang masih disebabkan oleh defisit migas yang semakin membengkak mencapai US$3,7 miliar di tengah surplus nonmigas sebesar US$1,6 miliar.
Baca Juga
Selain itu, penguatan rupiah juga disebabkan dolar AS yang mempertahankan penurunannya seiring dengan investor yang cenderung tetap berhati-hati akibat prospek pembicaraan perdagangan antara Amerika Serikat dan China di KTT G20 minggu ini.
Presiden A.S. Donald Trump dan Presiden Tiongkok Xi Jinping telah mengkonfirmasi bahwa mereka akan bertemu satu sama lain di KTT untuk membahas masalah-masalah terkait dengan perdagangan.
Namun, hanya beberapa hari menjelang KTT, AS menempatkan lima entitas teknologi China lainnya dalam daftar hitam perdagangan, meningkatkan ketidakpastian apakah kesepakatan perdagangan dapat dicapai.
Adapun, dolar AS telah dibayangi aksi jual akibat The Fed mengisyaratkan prospek dovish pada kebijakan moneternya seiring dengan tanda-tanda pertumbuhan ekonomi global yang melemah.
Indeks dolar AS yeng mengukur kekuatan greenback di hadapn sekeranjang mata uang mayor lainnya bergerak melemah 0,17% menjadi 96,055.
Kepala Strategi ACLS Global Marshall Gittler mengatakan bahwa aksi jual telah meningkatkan pandangan pasar yang melihat dolar AS menjadi sangat bearish. Hal tersebut karena pasar melihat The Fed memiliki ruang paling besar untuk memangkas suku bunga acuan dibandingkan dengan bank sentral lainnya.
"Suku bunga acuan AS masih lebih tinggi dibandingkan dengan negara lainnya. Di sisi lain, imbal hasil obligasi AS tidak akan berubah negatif dalam waktu dekat, sedangkan banyak negara lain yang sudah berada di posisi negatif," ujar Marshall seperti dikutip dari Reuters, Senin (24/6/2019).