Bisnis.com, JAKARTA – Hal yang paling penting adalah memiliki mindset investasi yang benar, pengetahuan mengenai perusahaan yang kita beli (apakah perusahaan secara konsisten mencatatkan pertumbuhan laba), dan kesabaran untuk mengikuti rencana dan strategi yang telah disusun. Dengan bekal ini, kita akan memiliki peluang yang jauh lebih besar untuk sukses berinvestasi di pasar modal.
Dalam 10 tahun terakhir ini, performa indeks harga saham gabungan (IHSG) sangat bagus dan malah jauh lebih bagus jika dibandingkan dengan mayoritas indeks saham di dunia, seperti FTSE, Hang Seng, Nikkei dan bahkan Dow Jones.
Bukan hanya itu, kenaikan IHSG juga melampaui instrumen investasi lainnya seperti emas, obligasi, dan bahkan properti. Kenaikan IHSG lebih tinggi dibandingkan dengan indeks harga properti residensial, yang artinya berinvestasi di saham memberikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan berinvestasi pada properti/rumah.
Ironisnya, dari data yang didapatkan, sebagian besar investor pasar modal tidak menikmati hasil dari kenaikan IHSG. Banyak dari investor yang ada mendapatkan hasil yang jauh lebih rendah, dan malah merugi yang disebabkan investor tersebut membeli dan menahan saham dengan fundamental yang tidak bagus.
Kenapa bisa begitu? Saya percaya kesalahan tersebut bukanlah berasal dari instrumen yang diinvestasikan, karena instrumen tersebut (IHSG) mengalami kenaikan yang signifikan. Tetapi, kesalahan tersebut berasal dari mindset sebagian besar investor di mana investor tersebut lebih suka membeli saham dengan fluktuasi yang besar dan cepat (baca: saham gorengan) dibandingkan dengan membeli saham dengan fundamental bagus yang biasanya cenderung lebih lambat.
Sifat dasar manusia yang menyukai gratifikasi instan juga menyebabkan manusia pada umumnya lebih suka untuk mengejar imbal hasil yang tinggi tanpa mempertimbangkan risiko yang tinggi pula. Hal ini adalah spekulasi dan bukan investasi.
Salah satu alasan kenapa sebagian besar investor suka membeli saham yang bergerak cepat tanpa fundamental yang kuat adalah karena investor tersebut memiliki pemahaman dan ekspektasi yang salah dalam berinvestasi di pasar modal.
Saya sering memberikan pertanyaan kepada peserta seminar tentang berapa imbal hasil yang mereka harapkan dalam berinvestasi di pasar modal, dan saya cukup terkejut dengan jawaban audiens yang mengharapkan imbal hasil 100%-500% selama setahun.
Itulah alasan kenapa sebagian besar investor memilih membeli saham dengan fluktuasi yang sangat cepat agar bisa mencapai target imbal hasil yang mereka inginkan.
Tahukah Anda siapa investor yang paling kaya di dunia? Ya, benar sekali! Jawabannya adalah Warren Buffett. Nah, pertanyaan kedua, Berapakah imbal hasil per tahun yang dihasilkan oleh Warren Buffett selama karier beliau (yang sampai saat ini masih terus berkarya)? Apakah 500% Atau 200%? jawabannya sekitar 20%.
Hanya 20%? Ya! Anda tidak salah baca! 20% dengan bunga majemuk adalah jumlah yang sangat besar, atau secara kumulatif sebesar 620% dalam kurun waktu 10 tahun. Saya yakin dan percaya sebagai investor ritel 20% adalah gol yang sangat mungkin dicapai.
Salah seorang fund manager tersukses di dunia, Peter Lynch, pernah berkata “semua orang memiliki kepintaran untuk sukses berinvestasi di pasar modal, asalkan Anda mengetahui matematika dasar (tambah, kurang, kali, bagi, dan persentase), Anda bisa sukses berinvestasi di pasar modal”. Jadi, untuk sukses di pasar modal, hal yang paling penting bukanlah kepintaran, tetapi mindset yang benar.
Dari argumen di atas, bisa disimpulkan bahwa mindset yang benar adalah berinvestasi pada perusahaan yang bagus dalam jangka panjang dan bisa menghasilkan imbal hasil 20% per tahun. Namun, sulitkah kita menemukan saham dengan return 20% per tahun?
Saya mendata perusahaan yang ada di sekitar kita dan tentunya sudah tidak asing bagi kita, dan ternyata banyak perusahaan di sekitar kita yang produknya sudah pasti tidak asing, yang performa sahamnya memberikan return di atas 20% per tahun.
Sebagai ilustrasi dengan menggunakan emiten (saham) yang produknya sering kita gunakan, saya akan mencontohkan dengan Bank BCA, yang memberikan return (CAGR, Compound Annual Growth Rate) sebesar 25% per tahunnya. BCA memiliki 20 juta nasabah, dan menjadi tulang punggung untuk bisnis online (online shop) di Indonesia.
Jika pada awal 2009 kita menyimpan saham dengan kode BBCA ini sebesar Rp100 juta, maka akhir 2019 dana tersebut sudah menjadi Rp950 juta. Jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan imbal hasil deposito, di mana Rp100 juta menjadi Rp210 juta para rentang waktu yang sama.
Contoh lain adalah emiten yang bernama Mitra Adiperkasa (MAPI), yang selama periode yang sama memberikan return 36% per tahun. Ketika kita jalan-jalan ke mal, tentu tidak asing dengan toko ritel seperti SOGO, ZARA, Kidz Station, Sports Station, dan mungkin kita sering mengisi perut di Burger King, atau malah sering ngopi di Starbucks.
Toko ritel dan restoran yang disebutkan tadi adalah bagian dari grup Mitra Adiperkasa yang menguasai lebih dari 150 brand ternama selain yang sudah disebutkan di atas. Dari segi bisnis, MAPI diuntungkan karena dengan memiliki deretan merek ternama, pengelola mal akan dengan sangat senang jika MAPI membuka gerainya karena akan menambah “traffic” di mal tersebut, bahkan dapat dikatakan sebuah mal akan “naik kelas” jika terdapat gerai dari MAPI.
Oleh karena itu, MAPI biasanya mendapatkan diskon yang sangat besar untuk penyewaan ruang komersial di mal. Nah, investor yang membeli saham MAPI sejak 10 tahun yang lalu sebesar Rp100 juta, kini juga sudah menjadi Rp2,3 miliar, yang jika dibandingkan dengan menabung pada deposito yang menghasilkan Rp210 Juta, maka “menabung” di saham MAPI akan menghasilkan Rp2,1 miliar lebih banyak.
MEMILIH PERUSAHAAN
Contoh di atas hanyalah dua dari banyak perusahaan yang memberikan imbal hasil di atas 20% dalam kurun waktu 10 tahun dari Januari 2009 sampai dengan Januari 2019. Hal ini membuktikan bahwa berinvestasi pada perusahaan yang nama dan produknya sudah kita kenal ternyata sangat menjanjikan.
Tetapi mengapa banyak investor yang malah tidak membeli saham yang ada di sekitar kita? Dari hasil survei yang dilakukan, investor tidak tertarik dengan saham tersebut karena saham tersebut “lamban”. Investor umumnya tidak ingin kenaikan 20% per tahun, tetapi ingin mencari saham yang mentok atas, ataupun kenaikan 25% dalam waktu singkat, dan kalau bisa malah dalam waktu satu hari!.
Ironisnya, saham yang “lamban” ini mencatatkan performa yang jauh lebih baik dibandingkan dengan banyak saham yang “cepat” dalam 10 tahun terakhir. Jadi, kesimpulan dari tulisan ini adalah kita tidak perlu membeli saham yang “luar biasa” atau “cepat” atau “fluktuatif” untuk mencapai hasil yang luar biasa pada investasi kita.
Hal yang paling penting adalah memiliki mindset investasi yang benar, pengetahuan mengenai perusahaan yang kita beli (apakah perusahaan secara konsisten mencatatkan pertumbuhan laba), dan kesabaran untuk mengikuti rencana dan strategi yang telah disusun. Dengan bekal ini, kita akan memiliki peluang yang jauh lebih besar untuk sukses berinvestasi di pasar modal. Selamat berinvestasi!
*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Selasa (11/6/2019)