Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Aset Safe Haven Kembali Dilirik Investor

Pasar kembali melirik aset investasi aman seiring dengan meningkatnya ketegangan perang dagang antara AS dan China.
Harga emas/Reuters
Harga emas/Reuters

Bisnis.com, JAKARTA - Pasar kembali melirik aset investasi aman seiring dengan meningkatnya ketegangan perang dagang antara AS dan China.

Berdasarkan data Bloomberg pada penutupan perdagangan Jumat (24/5/2019), yen masih melanjutkan reli penguatannya melawan dolar AS dengan ditutup naik 0,27% menjadi 109,31 yen per dolar AS. Sepanjang pekan lalu yen berhasil menguat 0,7% dan menguat 0,34% secara year to date.

Mengutip riset harian Asia Trade Point Futures, mata uang yen kembali bersinar seiring dengan meningkatnya tensi perang dagang AS dan China.

"Selain itu, kondisi gejolak politik di Inggris juga menambah minat investor untuk berlindung dibalik yen sebagai instrumen safe haven," tulis Asia Trade Point Futures seperti dikutip dalam risetnya, Minggu (26/5/2019).

Di sisi lain, emas juga terpantau masih bergerak di zona hijau, walaupun pergerakannya masih terbatas. Pada penutupan perdagangan Jumat (24/5/2019), emas di pasar spot ditutup di level US$1.284,75 per troy ounce menguat 0,1%.

Sepanjang tahun berjalan, emas di pasar spot masih bergerak menguat 0,18%.

Analis Teknis Reuters Wang Tao mengatakan bahwa jika dilihat dari sisi teknis, emas di pasar spot dapat menembus level resisten di US$1.286 per troy ounce dan naik ke level resisten berikutnya di US$1.290 per troy ounce.

Selain itu, ketidakpastian di Timur Tengah juga mendukung logam safe-haven seiring dengan Donald Trump yang berencana untuk mengirim sekitar 1.500 tentara AS ke Timur Tengah, sebagai tindakan perlindungan.

Namun berbeda dengan aset investasi aman lainnya, dolar AS justru tampak dihindari oleh mayoritas investor. Hal tersebut dipicu oleh data ekonomi AS yang melambat, imbas dari perang dagang AS dan China.

Tercatat, aktivitas manufaktur AS periode Mei melambat ke level terlemah dalam 5 tahun dan penjualan rumah baru AS telah turun 6,9% pada April.

Indeks dolar AS yang mengukur kekuatan greenback di hadapan sekeranjang mata uang mayor lainnya bergerak melemah 0,25% menjadi 97,613.

Beberapa analis awalnya percaya bahwa perang perdagangan akan menjadi keuntungan bagi dolar AS.

Hal tersebut dikarenakan dolar AS berfungsi sebagai tempat berlindung yang aman di saat ketidakpastian melanda dan kemungkinan AS yang akan paling sedikit terluka dari perang dagang.

Namun, hal tersebut belum terbukti menjadi benar.

Ahli Strategi Mata Uang Daiwa Securities Yukio Ishizuki mengatakan bahwa terdapat harapan Federal Reserve harus memotong suku bunga untuk mendukung ekonomi AS, mengimbangi kerusakan dari perang perdagangan yang meluas.

"Pasar menilai akan terdapat penurunan suku bunga karena kerusakan perdagangan yang diperkirakan lebih besar dari yang dibayangkan, meskipun Fed sama sekali tidak membicarakannya," ujar Yukio seperti dikutip dari Reuters, Minggu (26/5/2019).

Seperti yang diketahui, Presiden AS Donald Trump telah meningkatkan tarif impornya untuk produk China pada awal bulan ini dan memasukkan perusahaan teknologi asal China, Huawei, ke dalam daftar hitam ekspor AS.

Akibat hal tersebut, Presiden China Xi Jinping meminta masyarakatnya untuk memulai Long March baru dengan keberanian dan ketahanan yang lebih besar. Xi Jinping mengatakan untuk tidak akan pernah menyerah pada intimidasi dan serangan asing.

Namun, China bukan satu-satunya yang menunjukkan tanda-tanda bersiap menghadapi perang dagang yang lebih lama.

Presidan AS Donald Trump pada pekan lalu mengumumkan program bantuan baru senilai US$16 miliar untuk petani yang terjebak dalam perang dagang.

Trump juga telah menyelesaikan perselisihan dengan Kanada dan Meksiko tentang tarif baja, yang sebelumnya juga berdampak pada ekspor pertanian AS.

Adapun, harapan meredanya ketegangan dari perang dagang saat ini terletak pada pertemuan antara Trump dan Xi Jinping yang direncanakan akan dilakukan di sela-sela KTT G-20 pada Juni mendatang di Jepang.

Walaupun demikian, Duta Besar China untuk AS Cui Tiankai mengatakan bahwa belum ada diskusi resmi terkait pertemuan kedua pemimpin negara tersebut, meskipun kemungkinan akan selalu terbuka.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Finna U. Ulfah
Editor : Rustam Agus

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper